Kamis, 24 Mei 2012

Belajar sampai ke Negeri Flores


Siapa menawan siapa
Ketika membaca artikel Herry Priyono Memahami Leviathan Baru, saya merasa seperti tokoh dalam ceritera legenda Rip van Winkle. Karena saya membaca cerita legenda itu ketika masih SMA, detailnya tidak ingat persis lagi. Tetapi, kira-kira ceriteranya begini. Suatu saat ketika sedang berburu di hutan, Rip van Winkle jatuh tertidur. Dan tertidurnya tidak tanggung-tanggung. Dia tertidur selama satu generasi. Ketika terbangun, jenggot dan kumisnya sudah sangat panjang, senapan di tangannya berkarat, dan anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa tidak lagi mengenalinya.
Begitulah, saya merasa asing ketika sekarang ini mendengar orang berbicara mengenai bisnis, modal, atau perusahaan swasta sebagai Leviathan baru yang menawan pemerintah dan bagaimana cara memahaminya. Sudah sedemikian berubahkah dunia ini?
Rasanya belum lama, yaitu pada tahun 1980-an ketika kalangan akademika luar dan dalam negeri banyak memperdebatkan masalah hubungan antara negara dan modal. Teori basis-superstrukturnya Marx pun dinterpretasikan macam-macam. Yang ortodok bilang modal menentukan negara, atau dengan kata lain pemerintah telah menjadi tawanan sektor bisnis. Yang lebih mampu melihat kekompleksan hidup bermasyarakat lantas mengajukan teori bahwa negara mempunyai otonomi relatif terhadap modal. Seberapa besar kerelatifannya menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Pada satu titik waktu tertentu, siapa yang menawan siapa menjadi tidak jelas lagi.
Masalah hubungan antara pemerintah dan bisnis menjadi lebih kompleks lagi karena akumulasi modal sering tidak berlangsung dalam batas-batas nasional negara. Saya jadi teringat dongeng Braudel tentang zaman nenek moyang dulu, yaitu dulu ketika terjadi Perang Salib pada abad ke 16. Yang ingin dipahami bukan siapa menawan siapa, tetapi bagaimana kegiatan bisnis terjadi dalam konteks sebuah sistem hubungan antarnegara.
"Tentara Islam dan Kristen saling berhadapan di sepanjang garis utara-selatan yang memisahkan Levant dan Mediterranean Barat, yang merupakan sebuah garis dari pantai Adriatic ke Sicily dan terus memanjang sampai ke pantai Tunisia. Semua perang akbar antara tentara Kristen dan Islam terjadi di garis ini. Tetapi kapal-kapal pedagang tetap saja sibuk wira-wiri setiap hari di jalur tersebut". (Braudel, 1984, 22)
Kenapa sekarang ini rasanya asing kalau mau membicarakan perdebatan-perdebatan di atas, dari pengakuan akan adanya pluralitas determinasi dalam pendekatan otonomi relatif negara sampai pada kompleksitas hubungan akumulasi modal dengan sistem antarnegara. Apakah memang betul dunia ini sekarang sudah berubah menjadi jauh lebih sederhana, sehingga menjadi sebegitu transparannya siapa yang menawan siapa.
Wacana bahwa kegiatan bisnis itu merupakan kegiatan publik, dan dengan demikian harus ada kontrol publik langsung atas bisnis, seperti halnya ada kontrol publik langsung terhadap pemerintah sebetulnya tidak perlu dikondisikan pada argumen tertawannya pemerintah oleh bisnis. Karena kenyataan riilnya jauh lebih kompleks.
Hal-hal ini dalam dunia riil bisa terjadi secara bersamaan dan saling mempengaruhi: ada bisnis yang menawan negara (ekonomi rente), ada simbiosis mutualistis antara pemerintah dan bisnis, sehingga tidak perlu tawan-menawan (pemerintah mengandalkan pemasukan dari pajak perusahaan), ada kenyataan negara berpolitik secara manipulatif dengan berpura-pura telah tertawan oleh bisnis (demi menarik investasi jangka panjang perusahaan tambang), dan di samping itu ada masalah representasi dalam negara (agenda partai politik ditentukan oleh DPP, bukan oleh konstituennya) yang membuat kontrol publik terhadap bisnis yang dilakukan melalui negara menjadi tidak efektif.
Bagaimana sebetulnya menempatkan bisnis supaya berada di bawah kontrol publik, tetapi, seperti ketakutannya Herry Priyono, tanpa menjadi anti-bisnis seperti yang dipraktikkan di negara-negara komunis di masa lalu? Seperti yang sudah dikatakan di atas, kontrol terhadap bisnis melalui negara memang bermasalah karena adanya ketertawanan pemerintah, adanya berbagai kepentingan negara untuk bergandengan tangan dengan bisnis, dan juga karena masih adanya masalah representasi di dalam negara itu sendiri.
Yang ingin dikembangkan adalah wacana bahwa harus ada kontrol publik langsung terhadap bisnis. Di mana mencari legitimasi konseptual untuk pengembangan wacana itu, sehingga bukan saja membuat masyarakat bisa menerima keabsahannya, tetapi juga mulai mempraktikkannya? Tentu saja menggali dari kekayaan filsafat Eropa akan sangat membantu, tetapi diskusi tentang Pak Gempol dan Pak Wono dan kearifan lokal lain sejenisnya pasti juga tidak kalah menariknya dan tidak kurang manfaatnya.
Belajar sampai ke Negeri Flores
Baru-baru ini saya membaca sebuah Kerangka Acuan untuk Penilaian Partisipatif Tata Pemerintahan di Larantuka, Flores Timur, yang difasilitasi oleh Partnership for Governance Reform (Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan). Kerangka Acuan tersebut ditulis oleh KiPer HAM (Koalisi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia), yang merupakan sebuah LSM yang bergerak dalam bidang advokasi. Dalam kerangka acuan tersebut ada sebuah kutipan yang bagi kalangan akademika, intelektual, atau politikus tidak asing lagi kedengarannya. Kutipan tersebut berbunyi, "Jangan tanyakan apa yang Negara berikan kepada saya, tetapi tanyakan apa yang saya berikan kepada Negara."
Pada waktu pertama kali membacanya, saya jadi bertanya-tanya. Kenapa pada zaman era informasi serba cepat lewat internet dan SMS ini masih ada orang yang berani mengutip sebuah kalimat masyhur yang kebanyakan orang tahu sumbernya, tetapi tanpa menyebutkan nama pencetus kutipan tersebut. Apa orang ini tidak taku malu kalau sampai disebut sebagai plagiator? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kutipan itu diasosiasikan dengan ucapan Presiden John F Kennedy untuk mengobarkan semangat nasionalisme rakyat AS ketika menghadapi perang Vietnam.
Ternyata saya keliru. Sudah mengidap sindrom Rip van Winkel, ternyata saya juga mengidap sindrom bias kulit putih, yaitu belum-belum sudah langsung menganggap bahwa sebuah gagasan yang baik hanya bisa berasal dari orang kulit putih yang menduduki posisi elite di tingkat dunia.
Kutipan dalam Kerangka Acuan tersebut ternyata diambil dari kearifan lokal Flores Timur, yaitu dari konsep "Gelekat Lewo Gewayang Tanah", yang artinya mengabdi dan melayani kampung dan tanah air. Ini berarti mengabdi pada kepentingan publik yang berada di atas kepentingan pribadi dan golongan. Coba dicek yang benar dalam lembaran sejarah. Jangan-jangan John F Kennedy itu yang justru pernah belajar sampai ke negeri Flores untuk menambah kecerdasannya, dan bukannya hanya berhenti pada membaca karya-karya para filsof dari Eropa.
Tidak heran kalau Kennedy saja mau belajar sampai ke negeri Flores. Karena yang namanya kearifan lokal itu memang kaya dan pantas digali kecerdasannya. Ibaratnya musisi Paul Simon yang pernah keliling di beberapa negara Afrika untuk menggali ritme-ritme lokal di sana, tetapi tentu saja dengan tujuan komersial untuk membuat album musiknya.
Dan saya memang terpana ketika mendengar Sita Aripurnami berceritera mengenai seorang bapak yang menjual minuman Plered Gempol di daerah Bulak Sumur, Yogya. Bagi yang tidak tahu, Plered Gempol adalah minuman sejenis cendol, tetapi cendolnya diganti dengan bulet-buletan seperti ronde. Lain dengan ronde, makanan ini tidak diisi dengan kacang, melainkan cuma diplered (dipencet) tengahnya.
Untuk mudahnya, penjual minuman itu kita sebut saja dia sebagai Pak Gempol, seorang pengusaha swasta skala pikulan. Biar gurem tetapi swasta. Pekerjaannya merupakan sebuah business enterprise. Karena sangat suka sama Plered Gempol, almarhum Umar Kayam, ayahnya Sita, ingin membeli semua dagangan Pak Gempol hari itu. Maunya biar nanti semua anggota keluarganya bisa menikmati Plered Gempol sekenyang-kenyangnya tanpa harus menunggu-nunggu kapan Pak Gempol akan lewat lagi hari itu. Maklum satu keluarga senang makan semua.
Akan tetapi apa dinyana, Pak Gempol ternyata menolak menjual semua dagangannya. Tidak masuk akal! Kenapa menolak? Bukankah dagangannya akan cepat habis kalau langsung diborong? Dan dia tidak usah capek-capek memikul dan menjajakan dagangan secara berkeliling. Sudah capek keliling, dan kalau sampai hujan, belum tentu laku sampai habis lagi. Jawaban Pak Gempol sangat mencengangkan, "Jangan dibeli semua Pak. Nanti pelanggan saya yang lainnya tidak kebagian."
Plered Gempol yang merupakan produk private enterprise-nya Pak Gempol ternyata merupakan sebuah barang publik. Pak Gempol tahu persis itu, makanya dia menolak ketika Umar Kayam mau memonopoli produk Plered Gempolnya waktu itu. Tetapi wacana kontrol publik seperti apa yang membuat Pak Gempol, seorang pengusaha swasta, mampu menolak upaya borongan yang kalau dilihat dari sisi pendapatan sebetulnya meringankan dia?
Barangkali Plered Gempol ini skalanya terlalu mikro untuk bisa membantu berpikir mengenai kontrol publik terhadap bisnis. Kalau skala masalahnya diperluas, bisa jadi akan membantu kita untuk semakin memahami permasalahan kontrol publik terhadap usaha swasta ini.
Coba kita kaji kasus seorang pengumpul kayu bakar di hutan yang kemudian dijual ke kota. Karena mengumpulkan kayu bakar di hutan, kita sebut saja Pak Wono. Wono dalam bahasa Jawa berarti hutan. Pak Wono, Pak Gempol, dan orang-orang lain sejenisnya ini sangat mengesalkan orang-orang yang menganut rasionalitas etika protestanisme dalam hal akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi.
Ceriteranya setiap hari Pak Wono mengumpulkan sepikul, cuma sepikul, kayu bakar di hutan untuk dijual ke langganan-langganannya di kota. Kalau hari ini dia, karena satu dan lain hal, terpaksa mengumpulkan dua pikul kayu, besoknya dia ambil cuti. Seharian dia di rumah momong anaknya sambil rengeng-rengeng berdendang.
Padahal, bagi para penganjur akumulasi, kalau Pak Wono mau setiap hari mengumpulkan kayu bakar dua pikul, atau bahkan tiga pikul, dia akan bisa menabung untuk kemudian menambah modal usahanya. Demikian seterusnya sehingga usaha Pak Wono akan semakin besar dan menghasilkan semakin banyak laba untuk kemudian ditanam kembali, sehingga nanti Pak Wono bisa menjadi juragan kayu bakar yang menghasilkan puluhan pikul setiap harinya.
Buat mereka, Pak Wono ini irasional dan betul-betul mengesalkan. Dia dianggap merupakan simbol kemalasan orang-orang di negara-negara terbelakang, yang menyebabkan negara-negara itu susah betul untuk disuruh mengikuti jejak perkembangan ekonomi yang sudah ditunjukkan, dan dibukukan dalam buku-buku text books, oleh negara-negara industri maju.
Yang tidak dipahami oleh para penganjur akumulasi tersebut adalah bahwa ternyata usaha swasta Pak Wono, skalanya juga pikulan, memang tidak memuja akumulasi modal. Kontrol publik terhadap bisnis Pak Wono terwujud melalui sebuah kearifan lokal yang memandang hutan tidak untuk digunduli demi membesarkan skala usaha. Usaha swasta yang beroperasi dalam konteks kearifan lokal mempunyai built in mechanism berupa akuntabilitas terhadap kepentingan publik.
Dalam hal Pak Gempol, ada kepentingan publik konsumen yang mempunyai hak untuk menikmati Plered Gempol. Dalam kasus Pak Wono, ada kepentingan publik yang terancam kalau hutan sampai gundul.
Pada skala kelembagaan adat, kitab Awig-awig kebudayaan Sasak di Lombok Barat, misalnya, juga memandang hutan bukan sebagai komoditas yang bisa dipakai untuk memacu akumulasi modal. Sekarang ini sedang dilakukan upaya untuk merevitalisasi dan sekaligus mendemokratisasi kelembagaan adat Sasak di sana. Apabila kelembagaan adat sudah berfungsi lagi dengan baik, untuk menebang sebuah pohon di hutan seorang warga harus meminta izin beberapa Mangku dan meyakinkan mereka bahwa dirinya memang betul-betul membutuhkan kayu tersebut untuk kepentingan hidupnya.
Kalau masyarakat Sasak boleh ikut menentukan kebijakan investasi di Lombok Barat bagian Utara, tidak akan ada perusahaan HPH yang bisa memperoleh izin operasi di kaki gunung Rinjani tersebut yang kemudian menggunduli hutan, dan seperti sekarang ini menyebabkan terjadinya banjir di musim hujan dan matinya puluhan mata air di musim kemarau.
Kalau sudah terjadi kerusakan lingkungan seperti itu, biarpun angka statistik pada skala kabupaten menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang lumayan karena adanya penebangan hutan yang intensif, kerugian ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat sekitar luar biasa besarnya, dan tingkat kesejahteraan mereka dengan sendirinya menurun. Itu merupakan contoh sebuah pertumbuhan ekonomi yang tidak menguntungkan masyarakat.
Menuju Gemohing?
Tantangannya memang bukan untuk membuat perusahaan sekadar mempunyai corporate responsibility terhadap komunitas dan lingkungan di mana dia menanamkan modalnya. Corporate responsibility tidak pernah menyentuh masalah fundamental dalam pengambilan keputusan mengenai investasi, yaitu bahwa publik mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan mengenai kegiatan bisnis yang dilakukan di wilayahnya.
Corporate responsibility sering dipakai sebagai perisai oleh perusahaan untuk menutupi dampak negatif dari kegiatan bisnis mereka terhadap lingkungan. Dengan memberikan dana untuk pengembangan komunitas, menyelenggarakan program peningkatan kapasitas Usaha Kecil dan Menengah, atau memperbaiki infrastruktur, perusahaan mengalihkan perhatian dari adanya hak publik untuk ikut menentukan pengambilan keputusan tentang kegiatan bisnis yang ada di wilayahnya.
Ada empat bentuk kontrol publik atas bisnis yang mungkin dilakukan. Pertama, publik/komunitas menciptakan rambu-rambu berdasarkan kearifan lokal yang harus dihormati oleh bisnis. Kearifan lokal ini bisa bersumber pada tata dan kelembagaan adat yang selama pemerintahan Suharto ditekan, dan sekarang banyak yang direvitalisasi dan didemokratisasi.
Pola pertama ini tidak mencampuri urusan internal pengambilan keputusan di dalam perusahaan. Kontrol kepentingan publik dilakukan dari luar. Hanya perusahaan yang bersedia menaati rambu-rambu investasi yang diperkenankan untuk melakukan kegiatan bisnis di lokasi tersebut. Perusahaan lain yang tidak bersedia mematuhi rambu-rambu tersebut dipersilahkan pergi ke lokasi di mana masyarakatnya merumuskan rambu-rambu investasi secara berbeda, atau tidak merumuskannya sama sekali sehingga perusahaan tinggal melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Dalam hal ini tidak perlu dibedakan antara perusahaan yang memanfatkan barang-barang publik seperti kekayaan alam atau perusahaan jasa yang hanya membutuhkan kandungan lokal yang tidak terlalu banyak. Revitalisasi kelembagaan adat ini tentu saja mengandung bahaya. Bisa jadi yang mengemuka adalah kepentingan elite adat, atau elite lama yang kemudian muncul sebagai tokoh-tokoh adat, dan bukannya kepentingan publik yang lebih luas.
Kedua, di lokasi-lokasi di mana tidak ada kelembagaan adat yang bisa memberikan dasar bagi kontrol publik atas bisnis, warga bisa merumuskan konsensus-konsensus bersama mengenai rambu-rambu yang harus ditaati oleh bisnis. Forum multi-pelaku di tingkat kota bisa digunakan untuk membangun kesepakatan-kesepakatan tersebut.
Apabila dianggap telah terjadi pelanggaran terhadap sebuah rambu, warga bisa melakukan tekanan publik secara langsung terhadap sebuah perusahaan. Memang tidak sederhana membangun sebuah Forum Multi-Pelaku, dan juga tidak sederhana membangun kesepakatan antar pelaku di sebuah kabupaten/kota mengenai kontrol publik terhadap bisnis. Tetapi memang kehidupan bernegara tidaklah pernah sederhana.
Ketiga, publik mendelegasikan kontrol terhadap bisnis kepada negara, seperti yang telah berlangsung selama ini. Di sini ada masalah representasi yang bertingkat. Pada tingkat pertama, rakyat belum bisa membuat partai politik memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah mereka.
Seperti yang sudah disebut di atas, sampai sekarang ini di Indonesia belum ada parpol yang progamnya dirumuskan dari bawah oleh konstituennya, dan bukan oleh DPP. Karena itu terjadi kesenjangan kepentingan antara parpol dan konstituennya. Misalnya, banyak kaum miskin desa dan kota yang justru merasa dirugikan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang dikuasai oleh partai marhaen.
Pada tingkat kedua, negara yang seharusnya berdiri di atas semua golongan dan dengan demikian bisa mewakili kepentingan publik ternyata juga lebih sering mengutamakan kepentingannya sendiri dalam masalah pengelolaan sumber-sumber daya. Salah satu contohnya adalah gagalnya pemerintah sebelum mulainya krisis ekonomi pada tahun 1997 untuk menegakkan peraturan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank pada umumnya dan batas maksimum pemberian kredit kepada perusahaan di dalam kelompok bisnisnya pada khususnya.
Keempat, publik melakukan kontrol dengan jalan masuk ke dalam struktur pengambilan keputusan di dalam perusahaan. Dalam kasus pengelolaan kekayaan alam berupa hutan, tanah, dan kekayaan mineral, komunitas yang sudah diakui hak-hak atas tanah ulayatnya di mana kegiatan bisnis akan dilakukan bisa melakukan negosiasi kepemilikan saham dengan perusahaan yang akan melakukan investasi tersebut.
Pertanyaannya, kalau kepemilikan saham komunitas adalah minoritas, tidak akan ada gunanya dalam pengambilan keputusan. Tetapi kalau maunya kepemilikan saham komunitas adalah mayoritas, apakah ada perusahaan yang bersedia untuk melakukan investasi? Koperasi-koperasi raksasa yang sahamnya dimiliki oleh anggota koperasi tetap tidak memecahkan masalah tanggung jawab publik ini karena yang menjadi isu adalah adanya kesenjangan antara kepentingan pemilik modal dengan kepentingan publik.
Ke mana sebetulnya arah tujuan dari kontrol publik terhadap bisnis? Kearifan lokal Flores Timur mempunyai sebuah konsep yang disebut Gemohing, yang mempunyai arti yang lebih luas dari konsep gotong-royong yang sekadar menekankan pada upaya bersama anggota komunitas untuk melakukan sebuah pekerjaan publik tertentu.
Gemohing tidak hanya mengatur pengolahan sumber daya tetapi juga cara menikmati hasilnya. Pendek kata, arti Gemohing adalah bekerja bersama dan menikmati hasilnya bersama juga. Kalau mau dikerangkakan dalam konsep Marx, bunyinya jadi kira-kira seperti ini: produksi nilai lebih bersama dan menikmatinya secara bersama.
Kalau itu berhasil dilakukan, kapitalisme akan mengalami perubahan yang substansial karena nilai lebih itu sendiri menjadi kehilangan artinya. Insentif dalam bentuk akumulasi modal dan kekayaan yang melekat pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi menjadi tidak ada lagi. Jangan-jangan bukan cuma John F Kennedy yang pernah pergi belajar sampai ke negeri Flores, tetapi Karl Marx juga pernah berlayar ke sana seabad sebelumnya.
Seiring dengan penerapan kontrol publik terhadap bisnis, maka bentuk hubungan-hubungan sosial kapitalisme pun juga berubah. Tetapi perubahannya ternyata tidak bisa dipaksakan melalui sebuah revolusi bersenjata seperti yang sudah dicoba di Uni Soviet dan Cina di abad 20 yang lalu karena lagi-lagi yang muncul adalah kesenjangan antara kepentingan publik dengan kepentingan negara.
Sebetulnya tarik ulur seperti ketegangan antara kepentingan publik, kepentingan negara, dan kepentingan modal inilah yang oleh Marx disebut sebagai hubungan dialektik, yang nanti pada jangka panjangnya diharapkan bisa mewujudkan Gemohing
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sabtu, 12 Mei 2012

Arti Demokrasi


 Cecep bertanya kepada Bapaknya arti dari Demokrasi. Bapaknya kemudian menjelaskan bahwa Demokrasi itu bisa diibaratkan dalam Rumah Tangga. Bapak bertindak sbg kaum Kapitalis yg mencari nafkah, Ibu sbg Pemerintah yg mengelola hasil, Cecep sbg rakyat, adiknya sbg masa Depan yg perlu diperhatikkan dan pembantu sbg pekerja.

Suatu ketika Cecep pulang Kerumah dan mendapati adiknya sedang buang air besar dilantai. Dilihatnya Ibunya sedang tidur lelap. Cecep kemudian kekamar pembantunya untuk minta tolong. Tetapi ternyata Ia mendapati Bapaknya sedang tidur bersama Pembantunya itu.

Cecep lalu mengatakan kepada Sang Bapak:

"Pak! sekarang saya sudah tau arti Demokrasi, yaitu kaum Kapitalis "menekan" para pekerja, pemerintah tertidur lelap, rakyat tidak berani membangunkan, hanya bisa melihat masa depan yang penuh dengan kekotoran..."

Imperatif Pendidikan Multikultural di Masyarakat Majemuk


Meminjam sistem klasifikasi Robinson (dalam Ekstrand, 1997: 350), kita dapat membedakan adanya tiga perspektif multikulturalisme di dalam sistem pendidikan (1) perspektif “cultural assimilation”; (2) perspektif “cultural pluralism”; dan (3) perspektif ”cultural synthesis”.
Yang pertama merupakan suatu model transisi di dalam sistem pendidikan yang menunjukkan proses asimilasi anak atau subyek didik dari berbagai kebudayaan atau masyarakat sub-nasional ke dalam suatu “core society”.
Yang kedua suatu sistem pendidikan yang menekankan pada pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing.
Yang ketiga merupakan sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis, yang menekankan pentingnya proses terjadinya eklektisisme dan sintesis di dalam diri anak atau subyek didik dan masyarakat, dan terjadinya perubahan di dalam berbagai kebudayaan dan masyarakat sub nasional.
Di dalam konteks suatu sistem politik kesukuan (ethnic politics), proses politik memiliki kecenderungan kuat untuk memilih ujung-ujung ekstrim diantara polarisasi pilihan perspektif pendidikan “asimilionis pluralis”. Oleh karena tekanannya pada pergumulan integrasi nasional sebagai konsekuensi dari kuatnya potensi konflik etnik yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia di bawah pemerintahan orde lama dan orde baru, misalnya, sistem pendidikan nasional kita selama ini diselenggarakan dengan memberikan tempat sangat penting pada aplikasi perspektif pendidikan asimilasionis di atas argumen tentang pentingnya pembentukan “satu” kebudayaan nasional bagi pembangunan institusi-institusi koalisi dan brokerage multietnik yang sangat kuat bagi proses integrasi nasional.
Pemberian tempat yang berlebihan pada fungsi pendidikan “integratif” melalui aplikasi perspektif asimilasionis itu telah terbukti gagal menciptakan institusi-institusi koalisi dan brokerage sebagai bangunan yang kokoh bagi berkembangnya proses integrasi nasional.
Sebaliknya, yang berhasil kita ciptakan melalui kebijakan pendidikan yang demikian tidaklah lebih dari suatu bangunan institusi-institusi koalisi dan brokerage semu yang sangat rapuh bagi pengembangan proses integrasi nasional.
Gerakan reformasi Mei 1998 untuk mentransformasikan otoritarianisme orde baru menuju transisi demokrasi sebaliknya telah menyemaikan berkembangnya kesadaran baru tentang pentingnya otonomi masyarakat sipil yang oleh Ektransd disebut sebagai perspektif multikulturalisme radikal’(radical multiculturalism) sebagaimana yang kini agaknya telah diakomodasi oleh UU_SISDIKNAS baru menggantikan Undang-undang no 2 Tahun 1989.
Di dalam konteks perkembangan sistem politik Indonesia saat ini, pilihan perspektif pendidikan yang demikian memiliki peluang kan semakin menguatnya ketidakmampuan kita sebagai bangsa untuk membangun institusi-institusi koalisi dan brokerage multikultural yang justru sangat diperlukan sebagai landasan bagi pengembangan sistem politik rasional yang kuat. Sebagaimana sudah disebutkan di muka, perspektif pendidikan pluralis radikal sangat menekankan [pentingnya akomodasi hak setiap kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kebudayaan dan masyarakat nasional.
Menurut hemat saya, yang diperlukan sebagai landasan yang kokoh bagi pembangunan sistem demokrasi di dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini adalah aplikasi pilihan perspektif pendidikan yang ketiga, yang sebagaimana sudah disebutkan di muka merupakan sintesis dari aplikasi perspektif pendidikan asimilasionis dan pluralis.
Sebagaimana sudah dikemukakan pula, perspektif pendidikan yang demikian memberikan peran pada pendidikan multikultural sebagai instrumen bagi pengembangan eklektisisme dan sintesis beragam kebudayaan sub-nasional pada tingkat individual dan masyarakat dan bagi promosi terbentuknya suatu “melting pot” dari beragam kebudayaan dan masyarakat sub nasional.
Pilihan perspektif pendidikan “sintesis multikultural” memiliki rasionalnya yang paling dasar di dalam hakekat tujuan suatu pendidikan multikultural, yang dapat diidentifikasikan melalui tiga tujuan berikut (Ekstrand, 1997:349): tujuan “attitudinal”; tujuan”kognitif”: dan tujuan “instruksional”.
Pada tingkat attitudinal, pendidikan multikultural memiliki fungsi untuk menyemaikan dan mengembangkan sensitivitas kultural, toleransi kultural, penghormatan terhadap identitas kultural, pengembangan sikap budaya responsif, dan keahlian untuk melakukan penolakan dan resolusi konflik.
Pada tingkat kognitif, pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi pencapaian kemampuan akademik, pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan kebudayaan, kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku kultural, dan kemampuan untuk membangun kesadaran kritis tentang kebudayaan sendiri.
Pada tingkat instruksional, pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan untuk melakukan koreksi atas distorsi-distorsi, stereotype-stereotype, peniadaan-peniadaan, dan mis-informasi tentang kelompok-kelompok etnik dan kultural yang dimuat di dalam berbagai buku dan media pembelajaran; menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup di dalam pergaulan multikultural, mengembangkan keterampilan-keterampilan komunikasi inter-personal, menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi, dan membantu menyediakan klarifikasi dan penjelasan –penjelasan tentang dinamika– dinamika perkembangan kebudayaan. [DR. Nasikun]
Source: Makalah ini dipresentasikan pada seminar “Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman” oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada Sabtu 8 Januari 2005, di Ruang Seminar Fakultas Ekonomi UMS.

ESENSI PENDIDIKAN NILAI MORAL DAN PKN DI ERA GLOBALISME


Ditulis oleh wjanto
Prof.Drs.H.A.Kosasih Djahiri
the 20th century has been characterized by three developments of great political importance:
The growth of democracy, the growth of corporate power, and the growth of corporate propaganda as a means of protecting corporate power against democracy ( Alex Carey ).
My country is the world, and my religion is to do good.(Thomas Paine) 

Pendahuluan

Tidak seorangpun mampu melepaskan diri dari hakekat kodrati manusia sebagai insan yang dapat dididik dan belajar sepanjang hayat (educated human being), sehingga dinamik berubah sepanjang masa.Pengalaman hidup manusia (life experiences) adalah pengalaman belajar manusia yang dari waktu/kondisi/tempat ke waktu/kondisi/tempat mengembangkan potensi diri dan kehidupan kita baik dalam arus posiitif maupun arus negatif.
Hakekat lain yang tidak bisa dihindari manusia ialah selaku social and political human being, dimana sejak lahir kita hidup "in group" dalam keluarga dan masyarakat yang ahirnya berbangsa - bernegara (Zoon politicon, organized political man). Lembaga-lembaga tadi disamping merupakan wadah/rumah bagi manusia juga merupakan institusi pembina - penegak dan pengembang ipoleksosbudag yang amat potensial. Namun makin kini ketiga lembaga itu makin kurang berfungsi (melonggar) dan bahkan ada kecendrungan dihilangkan.
Bahwa Potensi diri manusia yang Illahiah yang dibawa setiap manusia meliputi potensi badaniah dan rohaniah. Melalui berbagai kajian pakar pendidikan dan psikologis, potensi rohaniah dikatagorikan kedalam tiga potensi dasar yakni Daya Intelektual/Nalarr (dengan 6 potensi ); daya afektual (8 potensi afektual) dan Psikomtorik (8 potensi), sehingga keseluruhannya meliputi 22 potensi.
Dalam Dunia Pendidikan (terutama pendidikan formal) secara kurikuler rumusan sosok keluarannya dinyatakan harus utuh bulat (ragawi dan rohaniah) namun secara programatik - prosedural maupun realita keluarannya (outcomes) bersifat parsial. Totalitas diri anak didik hampir tidak pernah dibelajarkan secara kaffah. Target penyelesaian bahan ajar yang konseptual teoritik - keilmuan/normative atau structural disipliner dan target nilai angka (marking) atau NEM tinggi yang diiringi ketidak tahuan/profesionalan guru melahirkan pendidikan dan pembelajaran parsial. Masalah potensi ragawi dan nilai - moral serta norma hampir tidak pernah masuk hitungan termasuk dalam program khusus MKU (PKN, PAI, dll).
Tidak Profesionalnya guru, disamping pola pembelajaran - pelatihan professional skills yang kurang terutama dikarenakan ketentuan formal dan system seperti a.l. wajib mengajar minimal 19 jampel di satu sekolah, sistim penempatan guru, guru SD adalah guru kelas (baca "Guru 7 mata pelajaran" ! ). Maka oleh karenanya tidaklah mustahil apa yang dikemukakan McLuhan (teori Pendulum) besok lusa akan berwujud, yakni manusia yang cerdas otaknya namun tumpul emosinya.
Potret ini disejumlah tempat sudah mulai nampak. Proses emoting - minding, spiritualizing, valuing dan mental round trip dikalahkan oleh proses thinking and rationalizing. Pembelajaran berlandaskan nilai moral yang normative/ luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran theoretic - conceptual based dan perhitungan untung rugi rasional - keilmuan dan atau yuridis formal. Potret ini sudah juga nampak dalam pendidikan informal cq. kehidupan keluarga, pembinaan dan pendidikan anak (termasuk agama dan budi luhur) mulai kurang diperdulikan dan sudah sepenuhnya diserahkan kepada instansi lain cq. Guru dan sekolah. Rumah dan keluarga mulai tererosi dari status dan role behavior bakunya (agamis & cultural) dan hanya menjadi "symbol terminal berkumpul dan sumber status social - ekonomi" bagi warganya. Bagi keluarga yang sudah masuk "super developed/ nuclear - family" perkawinan hanya dimaknai sebagai lembaga/media untuk memenuhi kebutuhan biologis dan social ekonomis saja. Demikian halnya dalam berbangsa dan bernegara, hanya dianggap keharusan otomatik (opinio necesitatic) tanpa diiringi oleh rasa-emosi lain (sense of integrity, patriotism dan proudnes, dll ). Allohuma Nauzubillahi min zaalik !.
Dalam kehidupan masa lampau generasi usia 50/60 th keatas, apa yang diuraikan di atas boleh dibilang "tabu" dalam pendidikan keluarga, seluruh perangkat tatanan nilai - moral dan norma agama ( dan budaya agama), adat budaya (cultural heritages) dan bahkan nilai moral metafisis dengan segala "pro & contranya" hadir secara utuh menjadi tonggak pokok untuk segala hal serta beruwjud dalam berbagai bentuk (materiil - imateriil, personal, kondisional dan behavioral/ceremonial) . Dunia pendidikan formalpun (Program, buku, guru, pimpinan, system dan kondisional) turut mengukuhkan kehidupan tadi. Buku paket IPS ("Matahari Terbit&quot ;)dan seni budaya daerah (Panyungsi Bahasa, Didi - Yoyo; Rusdi Misnem dll) sekaligus membawakan misi dan isi pesan budi luhur (adat dan agama). Sekarang ini, gejolak iptek yang kian ganas melalui multi media elektronik - cetak dengan segala "keindahan - kemewahan dan kemudahannya" yang serba "waah" berikut tuntutan materiilnya yang cukup tinggi, melahirkan kehidupan keluarga yang sarat keinginan dan kesibukan sebagaimana "pola kehidupan (life style) modern" yang pada ahirnya secara perlahan namun pasti membawa kearah rasionalisme, sekulerisme yang materialistic dan egoistic serta mulai menggeser dan mengerosi standard baku yang ada, termasuk didalam kehidupan keluarga kita !
Norma acuan, Dimensi dan System kehidupan manusia
Gambaran hakekat kodrati manusia (Illahiah/Natural dan Sospol) dalam uraian terdahulu, melukiskan hakekat manusia yang serba potensial dan sarat keterbatasan. Dalam kehidupannya sebagai insan social diperkaya dengan seperangkat kodrat social sesuai dengan status dan peran laku harapannya (expected role behavior), Beberapa sifat kodrati insan social ini ialah a.l. selalu berkelompok (group base), kontekstual/ kondisional, bersifat mono multiplex/pluralistic, insan politik yang terorganisir (zoon politicon, organized political man), insan yang terikat dalam sejumlah lingkaran kehidupan (life cycles) yang multi aspek dan multi waktu. John Locke, mengemukakan 5 sifat natural manusia dalam posisinya sebagai organized political man; yakni : suka dihormati, cinta kekuasaan, merasa pintar, ingin selamat dan hidup abadi. Kelima hal ini ditampilkan setiap diri manusia yang normal dalam kehidupannya, dan bila tidak dikendalikan kelima hal tadi akan berwujud menjadi: gila hormat, gila kekuasaan, sok pintar, cari selamat/aman (anti risiko) dan takut mati. (silahkan anda renungi/kaji diri anda sendiri ).
Kedua hakekat kodrati tadi dengan diintervensi oleh tempat - waktu dan kondisi, berinteraksi/berinteradiasi dan menyebabkan proses perkembangan manusia serta melahirkan produk the real thing of man/human being. Proses perkembangan tadi tidak bersifat normless, melainkan terikat dan atau terkendali oleh seperangkat tatanan norma-acuan (norm refrences). Dalam masyarakat Indonesia ada/berlaku 6 norma acuan pokok yang menuntun/mengendalikan/mengharus kan diri dan kehidupan manusia ialah nroma/syariah agama, budaya agama, budaya adat/tradisi, hukum positif/negara, norma keilmuan, dan norma metafisis (hal ihwal diluar jangkauan kemampuan manusia, alam gaib - kepercayaan). Ke enam acuan normative tadi ada dalam setiap lingkaran dan aspek serta system kehidupan manusia. Dan setiap norma melahirkan acuan nilai dan moral. Norma adalah perangkat ketentuan/hukum/ arahan, dia bisa datang dari luar (eksternal) seperti dari Tuhan/Agama, negara/Hukum, masyarakat/adat dan bisa pula (yang terbaik ) datang dari dalam diri atau sanubari/qolbu kita sendiri. Norma yang sudah menjadi bagian dari hati nurani (suara hati = qolbu !) adalah norma dan nilai - moral yang sudah bersatu raga (personalized) dan menjadi keyakinan diri atau prinsip atau dalil diri & kehidupan kita. Nilai ( value = valere) adalah kualifikasi harga atau isi pesan yang dibawakan/tersurat/tersirat dalam norma tsb (a.l. Norma agama memuat nilai/harga haram - halal - dosa - dll) dan melekat pada seluruh instrumental input manusia (hal-hal yng materiil/imateriil, personal/impersonal, kondisional, behavioral). Sedangkan Moral/Moralita adalah tuntutan sikap - perilaku yang diminta oleh norma dan nilai tadi. Maka karenanya suatu norma dari suatu sumber bisa memuat nilai - moral positif maupun negatif dan jumlahnya amat banyak serta bersifat relatif/subjektif - instrumental yang mungkin pula kontradiktif satu dengan lainnya. Contoh simple misalnya Norma agama "dilarang mencuri" memuat nilai a.l. dosa, haram, neraka, dll; moralita yang dituntut jauhi, hindari, jangan dikerjakan.
Sedangkan yang kami maksudkan Sistem dalam kehidupan ialah apa yang dikemukakan oleh Talcot Parson, dimana menurutnya setiap organisme kehidupan (manusia, binatang, tanaman dll) memiliki 5 system; yakni: sistem nilai (value system), system budaya (cultural system); system social (social system), system personal (personal system) dan system organic (organic system).Maka karenanya Diri Manusia dan Astagatra kehidupan manusia yang bersifat organisme hidup tidak luput dari lima system tadi dan setiap system mengacu kepada 6 norma acuan yang ada/dianut/diyakni orang/masyarakat/kehidupannya.
Dari gambaran tadi jelas bahwa diri dan kehidupan manusia sarat/padat norma - nilai dan moral, tidak ada kehidupan yang "value free" (bebas nilai). Potret diri dan kehidupan di atas bila kita jabarkan secara matematis akan nampak sebagai berikut:
  1. Life Cycles manusia = 5 (diri, keluarga, masyarakat, bangsa/negara dan dunia)
  2. Aspek kehidupannya = 5 dimensi/aspek (Ipoleksosbudag)
  3. Sumber Norma acuannya ada 6
Dari tiga dimensi ini saja maka perangkat Nilai - Moral - Norma (NMNr) yang mengikat/mengendalikan diri & kehidupan manusia berjumlah (5 x 5) x 6 = 150 buah. 150 NMNr ini masih akan dikaitkan (dikalikan) dengan keberadaan 5 system dalam setiap organisme kehidupan (150 x 5 = 750 ) dan dikaitkan lagi dengan status dan peran laku manusia yang bersifat mono pluralistik yang jumlah n.
Yang lebih dahsyat lagi ialah bahwa antara komponen di atas (life cycles, aspek, sumber norma dan system) tidak selamanya rujuk dan sering/banyak bersifat kontras/paradoxal. Potret diri & kehidupan manusia dengan perangkat NMNr yang amat kompleks, sarat paradoxal dan kontekstual inilah yang menuntut kehadiran Pendidikan Nilai Moral, sehinggga manusia tetap value based sebagai insan bermoral (morally mature person atau a healthy person) dan kehidupannya tetap terkendali (conditioned). Dalam diri dan kehidupan yang bermoral (berahllak mulia) seluruh sistemnya ( 5 sistem) selalu mengacu kepada seluruh tatanan NMNr yang berlaku/diyakini diri & kehidupan nya, ybs memiliki pengalaman belajar (learning experiences) dan kemampuan (kompetensi) bagaimana dan kapan mengoptimalisasi dan meminimalisasikan perangkat NMNr tadi secara instrumental/kontekstual dan balance. Insan bermoral (berahlak mulia) disamping memakai kemampuan intelektualnya (intellectual intelligence) juga selalu melakukan proses emoting, spiritualisasi (spiritualizing) dan valuing terhadap seluruh dimensi norm reference yang ada (diyakini ybs dan atau kehidupannya) sebelum pengambilan keputusan (taking position). Proses ini makin kini makin rendah (dimensi norm referencesnya maupun value basesnya), dan hanya mengutamakan proses analisis - penilaian (evaluating bukan valuing) intelektual - rasional - konseptual saja. Dimensi norma acuannya cenderung ke keilmuan (umumnya ekonomik saja) dan atau hukum formal. Perhitungan ekonomik "murah - mahal" hanya dihitung rasional sebagai selisih harga dan "legal - illegal" nya juga bersifat rasional "karena secara formal melanggar/memenuhi ketentuan hukum" saja tanpa diiringi suara hati/qolbu (kasihan, penyesalan, rasa salah/dosa dll).
Jelas kiranya, orang yang tidak mengenal perangkat tatanan NMNr dan tidak/ jarang dibelajarkan potensi afektualnya (8 potensi) sulit untuk diminta menjadi manusia bermoral. Visi Pendidikan Nilai - Moral disamping membina, menegakkan dan Mengembangkan perangkat tatanan NMNr luhur (6 sumber Nr) adalah juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berahlak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society). Pendidikan NMNr membawakan misi:
a.       Memelihara/melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 system kehidupan yang kait mengkait.
b.      Mengklarifikasi dan merevitalisasi sub.a sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana ybs berada.
c.       Memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia & kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/ value based); Insan/Masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian.
d.      Membina dan menegakan "law and Order" serta tatanan kehidupan yang manusiawi - demokratis - taat azas.
e.       Khusus di negara kita, disamping hal-hal di atas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang moderen namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualiifikasi UUSPN 2003).
Laju perkembangan iptek yang kian kini kian cepat dan agresif (melalui media cetak elektronik dan produk iptek yang sarat nilai tambah, mudah dan menyenangkan) mulai mereduksi dan mengerosi keberadaan/kelengkapan perangkat sumber norma acuan dan sekaligus pula mengerosi nilai - moralnya. Sumber normative dari Tuhan/Allah (agama), Alam dan budaya/adat serta yang metafisis mulai digeser dan atau diubah oleh sumber karya manusia yakni Ilmu dan Hukum serta teknologi. Iptek dan modernity secara inheren membawakan nilai - moral (karakteristik): added values, easiness, enjoy, rasionalism, sekulerism, materislism, individualism, kompetisi & conflict, spesialisasi, dll. Maka oleh karenanya NMNr kontras - paradoxal kian meningkat dan sering melahirkan "ketimpangan" dan atau kesenjangan keadaan/ kehidupan manusia yang kalau tidak mampu diseimbangkan maka muncul aneka keanehan, stress dan strook. Generation gap, friksi kehidupan rumah tangga dan masyarakat, gaya hidup (life style) yang "aneh", Hippies dll adalah buah pendidikan parsial yang meninggalkan pendidikan nilai - moral.
Berikut kami angkat beberapa statements para pakar Pendidikan Nilai yang mengungkapkan esensi Diknil:
"Value Education or none at all" (Phlips Comb)
"Value education is the central of human being" (Piaget, Aristoteles, dll)
"Janganlah berfikir sebelum kamu iman, dan jangan berbuat sebelum iman dan berfikir" (Imam Al Gazali).
"My country is the world, and my religion is to do good" (Thomas Paine)
Dan sebagai insan religius, kita yakini bahwa dalam rukun iman dan Islam yang diminta adalah percaya akan…
HAKEKAT PENDIDIKAN KEWARGAAN NEGARA (PKN)
PKN atau Civic Education adalah program pendidikan/pembelajaran yang secara programatik - prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudyakan (civilizing) serta memberdayakan (empowering) manusia/anak didik (diri dan kehidupannya) menjadi warga negara yang baik sebagaimana tuntutan keharusan/ yuridis konstitusional bangsa/negara ybs.
Rujukan WNI yang baik dalam NKRI ialah UUD 1945/2003 yang jabarannya termuat dalam TAP MPR dan UU (a.l. UUSPN menjadi kiblat seluruh Program dan Sistem pendidikan ). Menurut landasan konstitusional di atas, maka Visi PKN NKRI lahirnya manusia/ WNI dan kehidupan masyarakat bangsa NKRI religius, cerdas, demokratis dan lawful ness, damai - tenteram - sejahtera, moderen dan berkeribadian Indonesia. Misi yang diembannya adalah program pendidikan; yang membelajarkan dan melatih anak didik secara demokratis - humanistic - fungsional.
Membelajarkan hendaknya dimaknai memberi pembekalan pengetahuan melek politik - hukum, membina jati diri WNI berkepribadian/berbudaya Indonesia, melatih pelakonan diri/kehidupan WNI yang melek politik hukum serta berbudaya Indonesia dalam tatanan kehidupan masyarakat - bangsa - negara yang moderen. Dari gambaran di atas maka jelas target harapan pembelajaran PKN NKRI, yakni:
a.       Secara Programatik memuat bahan ajar yang kaffah/utuh (CAP) berupa bekal pengetahuan untuk melek politik & hukum yang ada/berlaku/imperative dalam kehidupan bermasyarakat - berbangsa dan bernegara NKRI yang demokratis sistim perwakilan - konstitusional.
Bahan ajar yang kaffah mutlak harus menampilkan politik - hokum NKRI secara factual - teoritiik konseptual dan normative berikut isi pesan (nilai - moral) serta aturan main dan tata cara pelaksanaannya. Dan sebagai bekal pengetahuan tidak mutlak semua hal disampaikan melainkan dipilah dan dipilih berdasarkan tiga criteria dasar yakni: tingkat esensinya, kegunaannya dan kritis tidaknya.
Hakkekat isi pesan program PKN yang utama (lihat UUSPN 2003) harus memuat a.l. :
Insan dan kehidupan Relgius Imtaq dalam semua gatra kehidupan
b.      Melek politik - hukum tahu/faham hal ihwal keharusan berkehdiupan berbangsa - bernegara baik secara konstitusional maupun secara praksis/ nyatanya (kemarin - kini dan esok hari) Tatanan dan kehidupan Politik - Hukum dan Masyarakat Indonesia.
c. Insan dan kehidupan Demokratis yang lawfulness dalam NKRI/Pancasila/ berbudaya Indonesia
c.       Insan dan kehidupan yang Cerdas, damai dan sejahtera
d.      Insan dan kehidupan yang Cinta bangsa negara, Patriotik: cinta dan bela bangsa negara (hak daulat dan martabat bgs negara)
e.       Pergaulan dunia/antar bangsa yang setara dan damai
2. Secara Prosedural target sasaran pembelajarannya ialah penyampaian bahan ajar pilihan - fungsional kearah membina, mengembangkan dan membentuk potensi diri anak didik secara kaffah serta kehidupan siswa & lingkungannya (fisik - non fisik) sebagaimana diharapkan/keharusannya ( 6 sumber normative di Indonesia) serta pelatihan pelakonan pemberdayaan hal tersebut dalam dunia nyata astagatranya secara demokratis, humanis dan fungsional.
Tersirat dalam semua uraian di atas sejumlah hal yang secara konseptual dan praksisnya paradox/tabrakan dengan hakekat globalisme dan modernity. Dan ini berarti tantangan riil yang cukup berat untuk dihadapi para guru PKN, PAI bahasa & Budaya Daerah dan semacamnya. Bila kita menyerah berarti kita mengurbankan hakekat kodrati/Illahiah dan social politik diri siswa dan kehidupan Bangsa Negara kita. Jawaban ada di tangan anda ! Globalisme adalah era iptek yang superdeveloped, modernity adalah Neo Geopolitik yang cyberspace/world wide dan Sekuler
Iptek melahirkan temuan konsep/dalil dan produk baru yang serba elektronik - massal meninggalkan ketergantungan manusia dan kehidupannya terhadap tenaga manusia, binatang dan alam, serta memperpendek jarak waktu antar space. Banyak hal yang semula bersifat "tidak mungkin atau masa iya" kini ada dan terbuktikan. Bahkan iptek mulai mencoba menundukan alam serta kodrat natural manusia, kesemua hal inilah yang menyebabkan manusia "arogan" dan mendewakan dirinya serta melahirkan dalil "I`m nothing but every things" (aku adalah segala - galanya).
Teknologi industri yang sepenuhnya rational and capital base melahirkan tuntutan kehidupan yang ilmiah - rasional, sekuler, materialistic, capitalism yang kompetitif serta mendorong meningkatnya pola keadaan yang individualistik dan Utilities - beneficial - universal/ global/world wide.
Pola universalism yang kompetitif ini merupakan tuntutan keharusan (opinio necessitatic) teknologi modern yang berproduksi massal. Produksi massal menuntut kapital dan pasar (bahan dan produk) yang meluas dengan tingkat kompitisi kian tajam serta melahirkan sindikat gabungan industri (negara) raksasa yang secara konseptual paradox dengan karakter modernity. Gabungan raksasa industri & negara maju ini dikenal dengan berbagai label, ialah a.l. World Dragons, IGGI, Euro/Nato,AFTA, negara super power, world police dll. Pangsa pasar mereka ialah dunia tanpa batas wilayah (Planetary Territory, Cyber space), wilayah politik kebangsaan (nation) dan bahkan kedaulatan tererosi melalui pola kehidupan sosio politik Demokrasi Modern, Neo Geopolitic,World Peaceful and wealthfare,Multy National Corporation, Transnationalism, Global Capitalism, Planetary Territory dll yang kesemuanya memaksa manusia/bangsa/negara mengglobal sehingga tercipta tatanan norma baru yang dalam internet disebut dengan Normative Globalism yang berpolakan cyber ipoleksosbud dengan super developed technology dalam kehidupan post modernity yang dikendalikan world dragons & super power countries tadi.
Suka atau tidak suka, semua orang dan bangsa negara digiring menuju dunia baru itu. Paradigma baru bernegara muncul dalam dalil baru Demokrasi Baru, new democracy yang world wide cq. Western democracy yang liberalis dan kapitalistik dimana kepentingan ekonomi menjadi penjuru dan primadonanya semua hal..
Dalam awal makalah ini kami cantumkan petikan tulisan Alex Carey, dimana dikemukakan ada tiga kekuatan dahsyat yang muncul di era post modernity ini, yakni perkembangan demokrasi beserta kekuatan korporasisnya, laju propoganda kekuatan kubu korporasi demokrasi termasuk proteksi kubu demokrasi melawan kubu yang berbeda prinsip (a.l. traditionalis cultural atau Oriental Despotism, nasionalisme sempit, serta undemocratic democracy lainnya). Maka melalui berbagai dalih dan dalil (terutama dalih terrorism dan obat bius) maka dunia diwilah-wilah dan diciptakan "aneka conflicts" serta terjadilah berbagai "perang" (war), mulai dari perang Panama, Vietnam samapi perang Teluk , Afganistan, Irak dll yang ujung-ujungnya adalah liberalisasi dan demokrasi yang menyelebungi kepentingan ekonomi dan iptek tinggi (bahan baku dan pangsa pasar). Korporasis kubu demokrasi tadi dalam mewujudkan targetnya , yakni Cyber Politics/ Economics and Modernization (system dan life style) menggunakan berbagai cara dan kekuatan terutama kekuatan ekonomi (bantuan dan atau embargo), pembentukan Hukum/Lembaga Internasional (WTO, NATO,Euro dll) serta sindikat kekuangan (IMF,World Bank, IGGI, dll) yang pada puncaknya digelarnya peragaan kekuatan militer iptek mutahir. Semua hal ini "memaksa" masyarakat bangsa berkembang menerima/mengadopsi dan atau memasuki kubu baru mereka. Dan ironisnya karakter iptek - modernisasi ini bila sudah memasuki kehidupan manusia/masyarakat ybs has a beginning but will has no end ! Geo politik lama (wilayah ditentukan oleh kedaulatan/kekuasaan negara) berubah menjadi Neo Geopolitik, dimana "kepentingan politik suatu/sejumlah negara" (yang adalah kepentingan ekonomi bangsa/negara ybs) menjadi kiblat kekuasaan dengan jalan "menghapuskan batas wilayah nasionalisme sempit dan kekuasaan/ kedaulatan territorial lama". Semua harus membuka diri, untuk itu kembali teknologi berbicara dalam wujud teknologi militer , media cetak - elektronik dan indsutri.
Media cetak elektronik menjadi pendobrak tradional culture and life style. Melalui budaya dan pendidikan (materiil dan sumber serta media pembelajaran) generasi muda (yang umumnya mayoritas populasi bangsa dan dalam kondisi jiwa inovatif - kreatif dan "revolution age&quot ;)diciptakan a new and modern generation yang cinta/gila modernity, new democratic style dan world wide.
Dalam kehidupan dan generasi inilah keberadaan tatanan norma dengan perangkat nilai - moral luhur goyah, tergeser dan atau tergusur . Rem normative yang menjadi direktiva (moral conduct) diri & kehidupan "blong" dan terciptalah proses erosi dan dehumanisasi, dimana martabat diri dan kodrat dirinya "dijual dan dikurbankan" untuk kenikmatan, kesenangan dan kemudahan serta nilai tambah duniawi semata . Muncullah generasi dan kehidupan masyarakat yang serba rasional, sekuler, materialistik, individualis - utilities dan kontras dengan sejumlah NMNr luhur yang berlaku/ada/baku serta menamakan diri "kehidupan baru yang moderen"
Harapan kita tentu saja manusia, bangsa negara dan kehidupan Indonesia masuk dalam katagori manusia - bangsa - negara modern super canggih, namun harus tetap manusia dan bangsa yang berbudi luhur yang tetap mampu tampil dalam kepribadian Manusia/Bangsa Indonesia. Kita tidak berharap kehadiran manusia/ masyarakat & kehidupan yang modern namun kufur dan dolim terhadap diri sendiri, NMNr luhur serta warisan budaya (cultural heritage) Indonesia.
Bagaimana kita, bangsa Indonesia mampu membinanya? Pertanyaan ini hendaknya menjadi keperdulian semua orang, terutama para orang tua, pemimpin masyarakat dan negara serta tentu saja para pendidik dan guru. Melihat kecen-derungan "pergeseran status dan fungsi peran keluarga" (di kota maupun desa) sekarang ini maka nampaknya semua beban itu akan terpulang dan harus terpikul oleh Guru dan pendidik cq. Sekolah dengan seluruh instrumental inputs nya. Secara institusional, progaramtik curricular dan prosedural pembelajaran harus kaffah dan value base.Ini adalah harga mati untuk terpenuhinya harapan lahirnya Manusia dan Bangsa yang religius , cerdas, dan berahlak mulia yang tentunya harus diiringi system dan mekanisme kerja berbasis profesionalisme dalam dunia pendidikan.
Keterbatasan dan keterpurukan social ekonomi dan politik, hendaknya jangan menjadi excuse penyelewengan dan pelacuran pendidikan.
Hendaknya sama-sama kita sadari bahwa dunia dewasa ini makin terbuka, dan sang maha guru Iptek - elektronik - cetak kini kian merajalela membelajarkan dan melatih pengalaman hidup/belajar generasi penerus bangsa negara ini.
Perlombaan (musabaqoh) pembaharuan kurikulum dan buku teks harus diperhitung kan secara lebih serius (bukan hanya mengejar target waktu/tahun/proyek ) dan harus diiringi peningkatan keberadaan dan tegaknya profesionalisme Pendidik , Guru serta pelaksana pendidikan. Sekolah harus kita fungsionalkan menjadi "agent of changes" dan membelajarkan keluarga dan masyarakat, sehingga tercipta proses revitalisasi fungsi peran keluarga/masyarakat.
Hari esok bangsa dan negara kita berada pada our next young generations. Maka benarlah dalil Phillip Combs Value education or none at all !! 

Daftar Bacaan:
Kumpulan HO dan Internet (Editor Prof.A.Kosasih Djahiri; 2004, Prodi PU PPS UPI):
Pendidikan Nilai dan Humaniora
Learning Theories
Globalism and Ethics - Morality
Cooperative/Collaburative Group Learning
A.Kosasih Djahiri; 1990; Menulusuri Dunia Afektif; Lab.PPKN UPI
A.Kosasih Djahiri; 2004, Membina dan meningkatkan Profesionalisme Tugas Peran Pendidik, Prodi PU PPS UPI.