Kelemahan
Tenaga Produktif Dalam Pertanian di Indonesia
- Pemilikan tanah skala kecil
Hal ini adalah
realitas yang nyata. Situasi ini menyebabkan hasil produksi kaum tani tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Oleh karena itu sangat sering
kaum tani berlahan sempit ini terpaksa harus menjadi buruh musiman di perkotaan
terdekat, menjadi buruh untuk tetangganya sendiri (petani berlahan sempit lainnya) yang tetap membutuhkan
tenaga kerja terutama pada saat musim tanam dan musim panen. Masih harus
diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum
tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang
dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya iya.
Tabel. Jumlah Petani dan Rata-rata
penguasaan tanah di Jawa dan Madura
Tahun Sensus Pertanian
|
Jumlah Petani di Jawa dan Madura
|
Rata-Rata Penguasaan Tanah (Ha)
|
1963
|
7,95 Juta
|
0,71
|
1973
|
8,27 Juta
|
0,60
|
1983
|
10,27 Juta
|
0,30
|
Sumber : Prof. Sediono M.P Tjondronegoro,
Sosiologi Agraria, Hal.13
Masih harus
diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum
tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki
kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya iya. Tapi kesejahteraan
yang meningkat itu akan melalui cara seperti apa? Lalu tanah yang akan
dibagi-bagikan kepada kaum tani dari mana? Tak bisa lain dalam sistem
kapitalisme bahwa perluasan lahan akan membutuhkan tenaga kerja/buruh. Apakah
peningkatan kesejahteraan ini melalui eksploitasi tenaga kerja/buruh ini yang
akan menjadi tujuan dari perjuangan kaum tani? Dimana perbedaannya dengan pengusaha
perkebunan yang menindas kesejahteraan buruh-buruhnya. Ini satu soal. Lalu
tanah yang mana yang akan dibagi-bagikan kepada kaum tani untuk memperluas
kepemilikan lahannya? Di pulau Jawa yang menjadi konsentrasi terbesar dari
petani berlahan sempit jelas kesulitan untuk menambah perluasaan lahan kecuali
melalui program transmigrasi. Namun pola
transimigrasi model Orde Baru yang hingga saat ini tidak terlalu mengamali
perubahan, dimana kaum tani dipindahkan ke luar Jawa dan diberikan lahan seluas
2 hektar, dengan dukungan infrastruktur yang tidak memadai jelas bukan
menyelesaikan masalah namun justru menambah penderiataan kaum tani. Sangat sering
kita mendengar nasib para trnsmigran yang ditelantarkan. Bandingkan dengan pola
transmigrasi di Malaysia, transmigrannya diberikan lahan seluas 10 hektar dan
dibantu akses kredit murah, yang kewajiban membayarnya baru dicicil ketika
sudah mulai berproduksi –inilah tulang punggung keunggulan industri perkebunan
di Malaysia jika dibandingkan dengan perkebunan rakyat di Indonesia. Yang
diluar Jawa masih mungkin dengan pembukaan hutan. Namun situasi umum yang
terjadi diluar Jawa adalah luas tanah yang melimpah ini gagal diolah secara
produktif sehingga tanah-tanah adat atau pembukaan hutan gagal menghasilkan
struktur produksi pertanian yang kuat dan modern, --kecuali perkebunan-perkebunan
yang dikelola secara modern baik BUMN maupun swasta—tanpa bantuan modal dan
teknologi.
Persoalan
sempitnya lahan yang dimiliki mayoritas kaum tani harus dilihat secara lain.
Pada tahun 1930, 60% dari penduduk AS adalah petani berlahan kecil, dan kini
petaninya (pengusaha industri pertaniannya) hanya tinggal 3%. Namun hasil
produksi yang 3% itu mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional dan bahkan
mengekspor, melebihi kemampuan produksi dari yang 60% pada tahun 1930. Demikian
juga kejadian umum di negeri-negeri Eropa dalam revolusi dan evolusi
perkembangan pertanian dan kaum taninya. Lalu ke mana sisa dari kaum taninya?
Diserap oleh industri dalam perkembangan kapitalisme industri. Proses terjadinya
konsentrasi tanah dan perubahan pengolahan tanah menjadi industri pertanian
yang modern ini bermacam-macam, hampir mirip dengan situasi di Indonesia, yaitu
dengan perampasan, penggusuran, penjualan sukarela dsb. Untuk kasus
Indonesia proses dari konsentrasi tanah/perubahan kepemilikan untuk melayani
perkembangan industri yang melahirkan berbagai sengketa agraria akan dibahas
secara tersendiri.
Hukum
kapitalisme yang berlandaskan pada persaingan, kompetisi, yang kuat memakan
yang lemah berlaku sama, dan akan tetap berjalan demikian di segala aktifitas
perekonomian tak terkecuali di bidang pertanian selama aktifitas pertanian itu
bersifat kapitalis. Dengan demikian menjadi jelas bahwa persoalan sempitnya
lahan pertanian yang dimiliki mayoritas kaum tani adalah kenyataan namun jalan
keluar bahwa kepemilikan tanah kaum tani harus diperluas dalam sistem
kepemilikan individu tidaklah tepat sebagai program perjuangan kaum tani dan
gerakan rakyat Indonesia secara umum.
Problem yang
sesungguhnya adalah kapitalisme Indonesia dan kaum imperialis memang berkepentingan
untuk tetap membuat tenaga produktif kaum tani dan pertanian Indonesia tidak
berkembang dan tetap terbelakang. Program industrialisasi nasional secara
massif dan massal, sosialisasi dalam pengelolaan aktifitas industri modern,
program pendidikan dan kesehatan gratis yang dapat menjadi jembatan perbaikan
nasib kaum tani untuk masuk ke jajaran kelas pekerja modern menjadi terhambat.
Nasib kaum tani menjadi bertambah buruk karena kelas penguasa bekerjasama
dengan kepentingan kaum imperialis menindas kaum tani melalui:
- Kebijakan Pertanian yang Merugikan kaum tani
Sekalipun
kediktatoran Orde Baru sudah ditumbangkan oleh mahasiswa dan rakyat apada 1998
nasib kaum tani tidak kunjung berubah. Nasib kaum tani menjadi semakin buruk
oleh karena kebijakan ekonomi dan pertanian dari penguasa paska Suharto –dari
zaman Habibie hingga Pemerintahan SBY-JK memusuhi kepentingan kaum tani untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
Sebaliknya para
penguasa ini justru sangat memihak kepentingan dari kaum imperialis pertanian
dari negeri-negeri utara yang oleh karena kemajuan teknologi produksi dan
dukungan kuat pemerintahnya (kebijakan domestik seperti subsidi dan kebijakan
perdagangan internasional seperti dumping dan pengusaaan terhadap lembaga
keuangan dan perdagangan global) mampu menghasilkan produksi pertanian yang
melimpah dan sekaligus mematikan pesaingnya yaitu kaum tani dan industri
pertanian di selatan.
Kebijakan yang
merugikan ini diantaranya melalui liberalisasi kebijakan industri yang
menjadi pendukung dan penopang sektor sektor pertanian seperti pupuk,
listrik, dan minyak dan gas. Liberalisasi sektor ini berarti seluruh output
produksinya diabdikan pada kepentingan kaum modal, yang mayoritas adalah asing.
Pertama sekali subsidi pupuk dihapuskan karena dianggap memboroskan anggaran
negara dan menyalahi doktrin pasar bebas. Selanjutnya hasil-hasil pertambangan
minyak dan gas kepemilikian dan distribusinya lebih diprioritaskan untuk
melayani kebutuhan dan konsumsi oleh dan dari industri-industri di negeri-negeri
kapitalis maju. Sehingga industri dalam negeri seperti PLN, industri pupuk
–sebagian bahkan harus ditutup seperti PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan
terancam ditutup seperti PT PIM (Pupuk Iskandar Muda) I dan II di Aceh--, dan
Pertamina kekurangan pasokkan minyak gas, hal ini menjadi alasan tambahan
aabagi Pemerintah SBY-Kalla untuk secara rutin menaikan harga listrik, BBM,
gas. Apa dampaknya bagi kaum tani? Harga pupuk, harga jasa pengolahan hasil
panen (perontokan, penggilingan dsb), dan pengangkutan terus meningkat. Jika
kaum tani bukan pemilik situasi ini dijadikan alasan untuk menaikan biaya
pengangkutan dan penyewaan alat-alat pertanian yang dibutuhkan oleh kaum tani. Sehingga
biaya produksi yang ditanggung kaum tani meningkat yang otomatis menyebabkan
pendapatan kaum tani terus menurun.
Hasil analisis dari
Forum Petani Karawang pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari data yang dikompilasi
dari usaha tani petani di Desa Cikuntul, Karawang menggambarkan bahwa biaya
produksi per hektar meningkat dari Rp. 1.800.500 pada tahun 1996 menjadi
Rp.2.709.000 pada tahun 1999, sementara itu harga gabah cenderung tetap yaitu
pada tingkat harga Rp. 1000/kg pada tahun 1996 dan Rp. 1100/kg pada tahun 1999
(Forum Petani Karawang, 2002).
Ditengah
berbagia kebijakan yang menindas sistem produksi kaum tani Indonesia ini,
Pemerintah Suharto dan penggantinya, tak terkecuali Pemerintahan SBY-JK melengkapi penindasan dan karakternya sebagai
kakitangan kaum imperialis dengan kebijakan liberalisasi impor pangan.
Kaum imperialis,
melalui dukuangan pemerintah nasionalnya yanga menguasai IMF, Bank Duni, dan
WTO, serta tekanan hutang luang negeri, melalui IMF sebagai kreditur hutang dan
pemerintahan Indonesia yang bersedia diperalat memaksa Indonesia untuk:
(1) Mencabut
subsidi pupuk dan liberalisasi tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan
PUSRI. Hal ini dilakukan dengan tanpa kompensasi apapun bagi petani, yang
mengakibatkan melonjaknya harga pupuk dari Rp.450/kg menjadi Rp. 1.115/kg, dana
terus meningkat pada tahaun-tahuan selanjutnya. Hal ini berakibat pada
peningkatan biaya produksi petani menjadi 2 kali lipat.
(2) Pemerintah
melikuidasi peran BULOG, sebagai instrumen untuk menjaga stok pangan dan
perlindungan petani dengan membuka peran swasta secara luas untuk mengimpor
beras. Pemerintah juga menghapuskan pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia
bagi Bulog untuk membeli gabah petani.
(3) Yang paling
fatal adalah mematok tarif impor pangan pada angka 5 %, untuk beras sebagai
makanan pokok bahkan sampai 0 % pada bulan September 1999. Seiring dengan
dibukanya swasta untuk mengimpor beras maka beras impor membanjiri pasaran
beras domestik, dan memenuhi gudang gudang importir beras.
(4) Sejak tahun
2001, pemerintah menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan
dengan kredit komersial dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Akibatnya
penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah, sehingga petani tidak bisa
menutupi melonjaknya biaya produksi.
Kebijakan
liberalisasi perdagangan pangan juga berdampak pada pemborosan devisi dan
ancaman terhadap kemandirian pangan dari rakyat Indonesia. Total impor
komoditas pangan utama Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai, kacang tanah dan
gandum pada tahun 2001 saja sudah mencapai angka Rp. 11,8 trilyun. Jika produk
daging, susu, dan buah-buahan kita masukan angkanya jauh lebih besar.
Dimana-mana hampir rak-rak dari pusat-pusat perdagangan di kota-kota dipenuhi
dan dijejali produk-produk pangan impor.
Imperialis pertanian untuk merebut pasar pangan di Indonesia juga
menyusupkan kepentingannya dalam bentuk “bantuan pangan”. Bantuan pangan merupakan satu bentuk masuknya
beras internasional ke Indonesia, dalam bentuk hibah maupun kredit. Indonesia
merupakan penerima bantuan pangan terbesar dunia, yakni menerima 1.143.000 ton
pada tahun 1998, 522.000 ton pada tahun 1999, dan 554.000 ton pada tahun 2000.
Amerika Serikat, Jepang, dan Australia merupakan tiga penyumbang bantuan pangan
terbesar Indonesia. Bentuk bantuan terbesar adalah gandum, diikuti terigu, dan
beras.
Penurunan areal
luas panen padi - Jika pada tahun 1999 luas areal panen 11.963 ribu hektar,
maka tahun 2000 turun menjadi 11.793 ribu hektar dan tahun 2001 menjadi 11.415
ribu hektar. Penurunan ini sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya harga jual
gabah dibanding biaya produksi yang meningkat, yang terjadi selama kurun waktu
itu, juga oleh konversi lahan sawah menjadi penggunaan non pertanian karena
rendahnya nilai tambah pertanian padi.
Krisis ekonomi dan liberalisasi perdagangan
menyebabkan produksi beras menurun sebesar -3,9%, kemudian menurun lebih besar
yakni –4,9% pada tahun 1998. Pada tahun 1999 dan 2000 produksi beras meningkat
masing-masing 1,8% dan 3,9%, namun pada tahun 2001 menurun lagi sebesar –3,4%.
Liberalisasi
perdagangan mempunyai konsekwensi besar bagi Indonesia, terutama terhadap
sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, seperti pangan dan pertanian.
Pertanian menyediakan makanan pokok bagi 210 juta penduduk Indonesia, dan
menyerap 49,7 persen dari total angkatan kerja atau sekitar 44,62 juta angkatan
kerja pada tahun 2002 (BPS, 2003). Dengan demikian pertanian memiliki dimensi
yang sangat luas diantaranya ketahanan pangan, penyerapan lapangan kerja,
pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan
Menjadi jelas
pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan, pihak yang berkepentingan dan
pihak yang dirugikan kepentingannya, pihak yang menjadi musuh kaum tani dan
pihak yang menjadi sekutu kaun tani dari kebijakan liberalisai sektor pertanian
ini. Pihak yang diuntungkan adalah imperialis pertanian dan pangan dari utara
(teruama AS, Kanada, Eropa, Australia), belakangan juga Cina, juga elit
penguasa seperti Pemeirntahan SBY-Kalla dan kapitalis dalam negeri yang menjadi
kroninya dan berperan sebagai pedagang perantara. Sedang pihak yang dirugikan
adalah kaum tani dalam hal liberalisasi sektor pertanian, dan kaum buruh
diperkotaan dan seluruh rakyat miskin dalam hal liberalisasi perdagangan secara
umum yanga menjadi korban kebangkrutan industri dalam negeri. Era harga murah
barang-barang hasil impor hanyalah sesaat saja, karena seiring dengan itu daya
beli seluruh rakyat semakin merosot.
Menjadi jelas
juga bahwa musuh pokok dari perjuangan kaum tani secara umum adalah kaum
imperialis dan sistem imperialisme serta Pemerintahan SBY-Kalla yang bersedia menjadi
kakitangan dari kepentingan kaum imperialis; dan sekutu perjuangan dari kaum
tani adalah kaum buruh dan seluruh rakyat miskin yang menjadi korban dari
politik dan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan kaum imperialis.
Ketidakadilan
Dalam Sengketa Agraria
Selain itu kaum
tani juga telah mengalami penindasan selama puluhan tahun, menjadi korban
perampasan tanah. Perampasan tanah yang terjadi erat kaitannya dengan
perkembangan kapitalisme Orde Baru yang hingga kini tak kunjung ada
penyelesaian yang adil bagi kaum tani. Salah satau basis dari perkembangan
kapitalisme Orde baru adalah melalui cara-cara perampasan tanah untuk
kepentingan keberlangsungan dan perluasan
kapitalisme perkebunan, pembangunan pabrik-pabrik manufaktur (terutama tanah di
pinggiran kota), proyek infrastruktur (jalan, bendungan/dam dsb), real estate,
lapangan golf, dan pembukaan/perluasan areal pertambangan. Ini adalah model
pertama dari terjadinya pengkonsentrasian tanah model Orde Baru.
Secara spesifik
ada sejumlah populasi kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah akibat
penyelewengan Orde Baru terhadap pelaksanaan UU Pokok Agraia 1960, terutama
tanah-tanah perkebunan yang hak erpacht/HGUnya habis dan seharusnya menjadi
obyek dari UUPA yaitu dibagi-bagikan kepada kaum tani, ternyata HGU-nya
diperpanjang. Atau yang sudah dibagikan dirampas kembali, terutama paska
Tragedi 65.
Dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga tahun 2001 terjadi tidak
kurang dari 1.753 sengketa agraria. Terdapat 344 kasus konflik yang terjadi
akibat pengembangan areal perkebunan besar, pembukaan kebun-kebun baru maupun
penanaman kembali lahan-lahan yang selama ini tidak dipergunakan oleh
perusahaan. Keseluruhan jumlah konflik di areal perkebunan meliputi 1.311.971
Ha lahan yang disengketakan dan menimpa tidak kurang 257.686 keluarga petani
sebagai korban langsung dari konflik tersebut.
Tanah-tanah yang
dirampas oleh kaum tani itu berubah menjadi industri-industri modern, menjadi
perkebunan, areal pertambangan, pabrik, bendungan, jalan dsb. Jika perubahan
itu menjadi lapangan golf menjadi lebih mudah, karena kaum tani tidak
membutuhkan lapangan golf maka dapat
dirubah kembali menjadi lahan pertanian. Apakah yang demikian ini juga akan
diterapkan jika itu sudah berupa pabrik, bendungan, areal pertambangan, jalan,
bendungan?
Yang menjadi
masalah adalah struktur kekuasaan selalu menindas perjuangan kaum tani yang
menjadi korban dari ketidakadilan dalam kasus-kasus tanah yang terjadi. Bahkan
kaum imperialis, kapitalis, juga perusahaan-perusahaan Negara yang memperalat
dan menggunakan instritusi kekerasan Negara (TNI/Polri) dan para preman dalam
menghadapi perjuangan kaum tani untuk merebut hak-haknya. Dalam kasus-kasus
tanah yang terjadi keterlibatan TNI/Polri ini sangat menonjol.
Model kedua dari terjadinya konsentrasi
tanah adalah melalui pembukaan hutan dan pemanfaatan tanah adat. Yang
menikmatinya adalah sejumlah konglomerat kroni Suharto. Sampai tahun 1998,
kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih 48,3 juta ha hutan
HPH/HPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit menguasai kurang lebih
72,6 ribu ha. Di antara perusahaan yang menguasai HPH/HPTI itu, tidak lebih
dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta ha lahan hutan. Di
samping itu, Perhutani (perusahaan milik negara) mengklaim menguasai tiga juta
ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 ketahui terdapat 2,178 perusahaan yang
menguasai perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha.
Pemerintahan SBY-JK Memusuhi Perjuangan
Kaum Tani
Di dalam
penyelesaian persoalan kurang berkembangnya dan keterbelakangan tenaga
produktif pertanian dan juga dalam penyelesaian sengketa agraria kedudukan dari
Pemerintahan SBY-Kalla adalah wakil kekuasaan yang berdiri dipihak-pihak yang
memusuhi kepentingan kaum tani yaitu kaum imperialis dan kapitalis/imperialis
yang menyerobot tanah-tanah yang menjadi hak kaum tani. Demikian juga kedudukan
dari struktur dan elit penguasa yang menjadi bawahannya (militer, pengadilan,
juga pemerintahan daerah)m juga institusi parlemen.
Kasus beras
impor, gula impor, kenaikan harga BBM, TDL, kebangkrutan industri pupuk,
mahalnya harga pupuk, tak adanya bantuan kredit murah untuk kaum tani, tak
adanya bantuan teknologi yang murah dan tepat guna bagi kaum tani, peranan
Bulog yang tidak mampu menjadi distributor pangan nasional yang menguntungkan
kaum tani dan memangkas habis rente yang dinikmati kaum tengkulak adalah bukti
dari sikap bermusuhan dari pemerintahjan SBY-JK terhadap kepentingan kaum tani.
Pemerintahan SBY-JK justru dengan sikap melaksanakan pesanan kebijakan dari
kaum imperialis untuk meliberalkan peraturan yang menyangkut pemilikan dan
pemanfaatan sumberdaya air, juga perkebunan melalui berbagai RUU.
Didalam
penyelesaian kasus-kasus sengketa agrarian kita hamper tiak pernah mendengar
penyelesaian yang menguntungkan kaum tani. Yang sering kita dengar justru Pemerintah
SBY-JK menggunakan institusi dan aparat TNI/Polri untuk menindas perjuangan
kaum tani.
Sistem demokrasi dan struktur kekuasaan
Situasi
demokrasi telah berhasil direbut oleh rakyat sebagai hasil dari perjuangan
mahasiswa dan rakyat dalam menumbangkan kediktatoran Orde Baru pada tahun 1998.
Namun struktur kekuasaan dan produk kekuasaan tidak juga memberi manfaat dan menyelesaikan
kepentingan yang menjadi tuntutan perjuangan dari kaum tani.
Keuntungan yang
mampu diambil oleh kaum tani barulah
memaanfaatkan situasi yang relative kebebasan jika dibandingkan dengan
periode kediktatoran dengan membangun, mengrganisasikan dan membangkikan
perjuangan kaum dimana-mana. Skala perlawanan dan pertumbuhan organisasi kaum
tani juga telah demikian luas.
Namun demikian perkembangan
kaum tani ini masih menghadapi persoalan-persoalan:
- Secara ideologis isu keadilan dalam penyelesaian sengketa agrarian yang menjadi isu dominant dalam perjuangan kaum tani. Perjuangan melawan imperialis dan seluruh kepentingannya masih kurang menonjol. Walau gejala-gejalanya sudah mulai kelihatan misalnya pergolakan kaum tani yang memprotes kelangkaan dan mahalnya pupuk pada akhir tahun 1999, perlawanan petani tebu menolak gula impor, dan protes terhadap impot beras yang cukup ramai belakangan ini. Dalam perjuangan demokratik potensi dan energi perjuangan yang besar dari kaum tani juga belum terolah dengan baik. Misalnya saja sepanjang pertengahan tahun 1998 hingga akhir tahun 1999 ribuan desa di Jawa bergolak, dimana-mana kaum tani menggulingkan pemeirntahan desa bahkan bupati yang korup.
- Secara politik gerakan kaum tani membiarkan ruang dan struktur kekuasaan diambil dan dipergunakan oleh kekuatan-kekuatan politik yang memusuhi kepentingan kaum tani untuk mempersulit kehidupan dan menindas perjuangan kaum tani. Gerakan kaum tani kurang menggunakan seluruh ruang, peluang, dan institusi demokratik sebagai hasil dari perjuangan melawan kediktatoran untuk kepentingan perjuangan kaum tani dan rakyat miskin secara umum. Misalnya dalam momentum Pemilu atau Pilkada. Sehingga isu dan kepentingan yang diperjuangkan oleh kaum tani tidak mewarnai dari setiap watak konflik yang muncul dari kekuasaan. Sehingga dalam kepentingan ini lapangan politik front persatuan untuk melawan imperialis dan menyelesaiakan problem agraria juga kurang dimanfaatkan dengan baik oleh gerakan kaum tani.
- Secara organisasi gerakan kaum tani telah mencapai perkembangan yang baik misalnya tumbuh suburnya berbagai organisasi petani baik yang berskala nasional, apalagi di lokal-lokal propinsi dan kota-kota. Tantangan organisasional dari gerakan kaum tani adalah bagaimana mengkonsolidasikan potensi-potensi ini sehingga mampu keluar dari keterbatasan isu yang menjadi karakter dari banyak organisasi petani misalnya hanya membatasi perjuangan pada isu-isu tertentu saja, juga keterbatasan karakter lokal dari organisasi dan tuntutan yang diperjuangan kaum tani. Persoalan ini juga menjadi persoalan umum yang dihadapi oleh gerakan rakyat di sektor-sektor lainnya.
Konsolidasi dari
gerakan dan organisasi massa kaum tani penting untuk menjawab
perssoalan-persoalan diatas. Karena pada hakekatnya perjuangan melawan
imperiliasme adalah tugas nasional dari mayoritas rakyat Indonesia untuk dapat
keluar dari krisis ekonomi dan keterbelakangan tenaga produktifnya.
Penyelesaian sengketa agraria yang menjadi kepentingan kaum tani akan mengalami
kesulitan ketika persoalan ini tidak menjadi persoalan dan karakter umum dari
gerakan rakyat.