Siapa
menawan siapa
Ketika
membaca artikel Herry Priyono Memahami Leviathan Baru, saya merasa
seperti tokoh dalam ceritera legenda Rip van Winkle. Karena saya membaca cerita
legenda itu ketika masih SMA, detailnya tidak ingat persis lagi. Tetapi,
kira-kira ceriteranya begini. Suatu saat ketika sedang berburu di hutan, Rip
van Winkle jatuh tertidur. Dan tertidurnya tidak tanggung-tanggung. Dia
tertidur selama satu generasi. Ketika terbangun, jenggot dan kumisnya sudah
sangat panjang, senapan di tangannya berkarat, dan anak-anaknya yang sudah tumbuh
dewasa tidak lagi mengenalinya.
Begitulah, saya merasa asing ketika sekarang ini mendengar
orang berbicara mengenai bisnis, modal, atau perusahaan swasta sebagai
Leviathan baru yang menawan pemerintah dan bagaimana cara memahaminya. Sudah
sedemikian berubahkah dunia ini?
Rasanya
belum lama, yaitu pada tahun 1980-an ketika kalangan akademika luar dan dalam
negeri banyak memperdebatkan masalah hubungan antara negara dan modal. Teori basis-superstrukturnya
Marx pun dinterpretasikan macam-macam. Yang ortodok bilang modal menentukan
negara, atau dengan kata lain pemerintah telah menjadi tawanan sektor bisnis.
Yang lebih mampu melihat kekompleksan hidup bermasyarakat lantas mengajukan teori
bahwa negara mempunyai otonomi relatif terhadap modal. Seberapa besar
kerelatifannya menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Pada satu titik
waktu tertentu, siapa yang menawan siapa menjadi tidak jelas lagi.
Masalah
hubungan antara pemerintah dan bisnis menjadi lebih kompleks lagi karena
akumulasi modal sering tidak berlangsung dalam batas-batas nasional negara.
Saya jadi teringat dongeng Braudel tentang zaman nenek moyang dulu, yaitu dulu
ketika terjadi Perang Salib pada abad ke 16. Yang ingin dipahami bukan siapa
menawan siapa, tetapi bagaimana kegiatan bisnis terjadi dalam konteks sebuah
sistem hubungan antarnegara.
"Tentara
Islam dan Kristen saling berhadapan di sepanjang garis utara-selatan yang
memisahkan Levant dan Mediterranean Barat, yang merupakan sebuah garis dari
pantai Adriatic ke Sicily dan terus memanjang sampai ke pantai Tunisia. Semua
perang akbar antara tentara Kristen dan Islam terjadi di garis ini. Tetapi
kapal-kapal pedagang tetap saja sibuk wira-wiri setiap hari di jalur tersebut". (Braudel, 1984, 22)
Kenapa
sekarang ini rasanya asing kalau mau membicarakan perdebatan-perdebatan di
atas, dari pengakuan akan adanya pluralitas determinasi dalam pendekatan
otonomi relatif negara sampai pada kompleksitas hubungan akumulasi modal dengan
sistem antarnegara. Apakah memang betul dunia ini sekarang sudah berubah
menjadi jauh lebih sederhana, sehingga menjadi sebegitu transparannya siapa
yang menawan siapa.
Wacana
bahwa kegiatan bisnis itu merupakan kegiatan publik, dan dengan demikian harus
ada kontrol publik langsung atas bisnis, seperti halnya ada kontrol publik
langsung terhadap pemerintah sebetulnya tidak perlu dikondisikan pada argumen
tertawannya pemerintah oleh bisnis. Karena kenyataan riilnya jauh lebih
kompleks.
Hal-hal
ini dalam dunia riil bisa terjadi secara bersamaan dan saling mempengaruhi: ada
bisnis yang menawan negara (ekonomi rente), ada simbiosis mutualistis antara
pemerintah dan bisnis, sehingga tidak perlu tawan-menawan (pemerintah
mengandalkan pemasukan dari pajak perusahaan), ada kenyataan negara berpolitik
secara manipulatif dengan berpura-pura telah tertawan oleh bisnis (demi menarik
investasi jangka panjang perusahaan tambang), dan di samping itu ada masalah
representasi dalam negara (agenda partai politik ditentukan oleh DPP, bukan
oleh konstituennya) yang membuat kontrol publik terhadap bisnis yang dilakukan
melalui negara menjadi tidak efektif.
Bagaimana
sebetulnya menempatkan bisnis supaya berada di bawah kontrol publik, tetapi,
seperti ketakutannya Herry Priyono, tanpa menjadi anti-bisnis seperti yang
dipraktikkan di negara-negara komunis di masa lalu? Seperti yang sudah
dikatakan di atas, kontrol terhadap bisnis melalui negara memang bermasalah
karena adanya ketertawanan pemerintah, adanya berbagai kepentingan negara untuk
bergandengan tangan dengan bisnis, dan juga karena masih adanya masalah
representasi di dalam negara itu sendiri.
Yang
ingin dikembangkan adalah wacana bahwa harus ada kontrol publik langsung
terhadap bisnis. Di mana mencari legitimasi konseptual untuk pengembangan
wacana itu, sehingga bukan saja membuat masyarakat bisa menerima keabsahannya,
tetapi juga mulai mempraktikkannya? Tentu saja menggali dari kekayaan filsafat
Eropa akan sangat membantu, tetapi diskusi tentang Pak Gempol dan Pak Wono dan
kearifan lokal lain sejenisnya pasti juga tidak kalah menariknya dan tidak
kurang manfaatnya.
Belajar
sampai ke Negeri Flores
Baru-baru
ini saya membaca sebuah Kerangka Acuan untuk Penilaian Partisipatif Tata
Pemerintahan di Larantuka, Flores Timur, yang difasilitasi oleh Partnership for
Governance Reform (Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan). Kerangka
Acuan tersebut ditulis oleh KiPer HAM (Koalisi Perlindungan Hak-hak Asasi
Manusia), yang merupakan sebuah LSM yang bergerak dalam bidang advokasi. Dalam
kerangka acuan tersebut ada sebuah kutipan yang bagi kalangan akademika,
intelektual, atau politikus tidak asing lagi kedengarannya. Kutipan tersebut
berbunyi, "Jangan tanyakan apa yang Negara berikan kepada saya, tetapi
tanyakan apa yang saya berikan kepada Negara."
Pada
waktu pertama kali membacanya, saya jadi bertanya-tanya. Kenapa pada zaman era
informasi serba cepat lewat internet dan SMS ini masih ada orang yang berani
mengutip sebuah kalimat masyhur yang kebanyakan orang tahu sumbernya, tetapi
tanpa menyebutkan nama pencetus kutipan tersebut. Apa orang ini tidak taku malu
kalau sampai disebut sebagai plagiator? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
kutipan itu diasosiasikan dengan ucapan Presiden John F Kennedy untuk
mengobarkan semangat nasionalisme rakyat AS ketika menghadapi perang Vietnam.
Ternyata
saya keliru. Sudah mengidap sindrom Rip van Winkel, ternyata saya juga mengidap
sindrom bias kulit putih, yaitu belum-belum sudah langsung menganggap bahwa
sebuah gagasan yang baik hanya bisa berasal dari orang kulit putih yang
menduduki posisi elite di tingkat dunia.
Kutipan
dalam Kerangka Acuan tersebut ternyata diambil dari kearifan lokal Flores
Timur, yaitu dari konsep "Gelekat Lewo Gewayang Tanah", yang artinya
mengabdi dan melayani kampung dan tanah air. Ini berarti mengabdi pada
kepentingan publik yang berada di atas kepentingan pribadi dan golongan. Coba
dicek yang benar dalam lembaran sejarah. Jangan-jangan John F Kennedy itu yang
justru pernah belajar sampai ke negeri Flores untuk menambah kecerdasannya, dan
bukannya hanya berhenti pada membaca karya-karya para filsof dari Eropa.
Tidak
heran kalau Kennedy saja mau belajar sampai ke negeri Flores. Karena yang
namanya kearifan lokal itu memang kaya dan pantas digali kecerdasannya. Ibaratnya
musisi Paul Simon yang pernah keliling di beberapa negara Afrika untuk menggali
ritme-ritme lokal di sana, tetapi tentu saja dengan tujuan komersial untuk
membuat album musiknya.
Dan
saya memang terpana ketika mendengar Sita Aripurnami berceritera mengenai
seorang bapak yang menjual minuman Plered Gempol di daerah Bulak Sumur, Yogya.
Bagi yang tidak tahu, Plered Gempol adalah minuman sejenis cendol, tetapi
cendolnya diganti dengan bulet-buletan seperti ronde. Lain dengan ronde,
makanan ini tidak diisi dengan kacang, melainkan cuma diplered
(dipencet) tengahnya.
Untuk
mudahnya, penjual minuman itu kita sebut saja dia sebagai Pak Gempol, seorang
pengusaha swasta skala pikulan. Biar gurem tetapi swasta. Pekerjaannya
merupakan sebuah business enterprise. Karena sangat suka sama Plered
Gempol, almarhum Umar Kayam, ayahnya Sita, ingin membeli semua dagangan Pak
Gempol hari itu. Maunya biar nanti semua anggota keluarganya bisa menikmati
Plered Gempol sekenyang-kenyangnya tanpa harus menunggu-nunggu kapan Pak Gempol
akan lewat lagi hari itu. Maklum satu keluarga senang makan semua.
Akan
tetapi apa dinyana, Pak Gempol ternyata menolak menjual semua dagangannya.
Tidak masuk akal! Kenapa menolak? Bukankah dagangannya akan cepat habis kalau
langsung diborong? Dan dia tidak usah capek-capek memikul dan menjajakan
dagangan secara berkeliling. Sudah capek keliling, dan kalau sampai hujan,
belum tentu laku sampai habis lagi. Jawaban Pak Gempol sangat mencengangkan,
"Jangan dibeli semua Pak. Nanti pelanggan saya yang lainnya tidak
kebagian."
Plered
Gempol yang merupakan produk private enterprise-nya Pak Gempol ternyata
merupakan sebuah barang publik. Pak Gempol tahu persis itu, makanya dia menolak
ketika Umar Kayam mau memonopoli produk Plered Gempolnya waktu itu. Tetapi
wacana kontrol publik seperti apa yang membuat Pak Gempol, seorang pengusaha
swasta, mampu menolak upaya borongan yang kalau dilihat dari sisi pendapatan
sebetulnya meringankan dia?
Barangkali
Plered Gempol ini skalanya terlalu mikro untuk bisa membantu berpikir mengenai
kontrol publik terhadap bisnis. Kalau skala masalahnya diperluas, bisa jadi
akan membantu kita untuk semakin memahami permasalahan kontrol publik terhadap
usaha swasta ini.
Coba
kita kaji kasus seorang pengumpul kayu bakar di hutan yang kemudian dijual ke
kota. Karena mengumpulkan kayu bakar di hutan, kita sebut saja Pak Wono. Wono
dalam bahasa Jawa berarti hutan. Pak Wono, Pak Gempol, dan orang-orang lain
sejenisnya ini sangat mengesalkan orang-orang yang menganut rasionalitas etika
protestanisme dalam hal akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi.
Ceriteranya
setiap hari Pak Wono mengumpulkan sepikul, cuma sepikul, kayu bakar di hutan
untuk dijual ke langganan-langganannya di kota. Kalau hari ini dia, karena satu
dan lain hal, terpaksa mengumpulkan dua pikul kayu, besoknya dia ambil cuti.
Seharian dia di rumah momong anaknya sambil rengeng-rengeng
berdendang.
Padahal,
bagi para penganjur akumulasi, kalau Pak Wono mau setiap hari mengumpulkan kayu
bakar dua pikul, atau bahkan tiga pikul, dia akan bisa menabung untuk kemudian
menambah modal usahanya. Demikian seterusnya sehingga usaha Pak Wono akan
semakin besar dan menghasilkan semakin banyak laba untuk kemudian ditanam
kembali, sehingga nanti Pak Wono bisa menjadi juragan kayu bakar yang
menghasilkan puluhan pikul setiap harinya.
Buat
mereka, Pak Wono ini irasional dan betul-betul mengesalkan. Dia dianggap
merupakan simbol kemalasan orang-orang di negara-negara terbelakang, yang
menyebabkan negara-negara itu susah betul untuk disuruh mengikuti jejak
perkembangan ekonomi yang sudah ditunjukkan, dan dibukukan dalam buku-buku text
books, oleh negara-negara industri maju.
Yang
tidak dipahami oleh para penganjur akumulasi tersebut adalah bahwa ternyata
usaha swasta Pak Wono, skalanya juga pikulan, memang tidak memuja akumulasi
modal. Kontrol publik terhadap bisnis Pak Wono terwujud melalui sebuah kearifan
lokal yang memandang hutan tidak untuk digunduli demi membesarkan skala usaha.
Usaha swasta yang beroperasi dalam konteks kearifan lokal mempunyai built in
mechanism berupa akuntabilitas terhadap kepentingan publik.
Dalam
hal Pak Gempol, ada kepentingan publik konsumen yang mempunyai hak untuk
menikmati Plered Gempol. Dalam kasus Pak Wono, ada kepentingan publik yang
terancam kalau hutan sampai gundul.
Pada
skala kelembagaan adat, kitab Awig-awig kebudayaan Sasak di Lombok
Barat, misalnya, juga memandang hutan bukan sebagai komoditas yang bisa dipakai
untuk memacu akumulasi modal. Sekarang ini sedang dilakukan upaya untuk
merevitalisasi dan sekaligus mendemokratisasi kelembagaan adat Sasak di sana.
Apabila kelembagaan adat sudah berfungsi lagi dengan baik, untuk menebang
sebuah pohon di hutan seorang warga harus meminta izin beberapa Mangku dan meyakinkan
mereka bahwa dirinya memang betul-betul membutuhkan kayu tersebut untuk
kepentingan hidupnya.
Kalau
masyarakat Sasak boleh ikut menentukan kebijakan investasi di Lombok Barat
bagian Utara, tidak akan ada perusahaan HPH yang bisa memperoleh izin operasi
di kaki gunung Rinjani tersebut yang kemudian menggunduli hutan, dan seperti
sekarang ini menyebabkan terjadinya banjir di musim hujan dan matinya puluhan
mata air di musim kemarau.
Kalau
sudah terjadi kerusakan lingkungan seperti itu, biarpun angka statistik pada
skala kabupaten menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang lumayan karena
adanya penebangan hutan yang intensif, kerugian ekonomi yang ditanggung oleh
masyarakat sekitar luar biasa besarnya, dan tingkat kesejahteraan mereka dengan
sendirinya menurun. Itu merupakan contoh sebuah pertumbuhan ekonomi yang tidak
menguntungkan masyarakat.
Menuju
Gemohing?
Tantangannya
memang bukan untuk membuat perusahaan sekadar mempunyai corporate
responsibility terhadap komunitas dan lingkungan di mana dia menanamkan
modalnya. Corporate responsibility tidak pernah menyentuh masalah
fundamental dalam pengambilan keputusan mengenai investasi, yaitu bahwa publik
mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan mengenai kegiatan bisnis yang
dilakukan di wilayahnya.
Corporate
responsibility sering dipakai sebagai perisai oleh
perusahaan untuk menutupi dampak negatif dari kegiatan bisnis mereka terhadap
lingkungan. Dengan memberikan dana untuk pengembangan komunitas,
menyelenggarakan program peningkatan kapasitas Usaha Kecil dan Menengah, atau
memperbaiki infrastruktur, perusahaan mengalihkan perhatian dari adanya hak
publik untuk ikut menentukan pengambilan keputusan tentang kegiatan bisnis yang
ada di wilayahnya.
Ada
empat bentuk kontrol publik atas bisnis yang mungkin dilakukan. Pertama,
publik/komunitas menciptakan rambu-rambu berdasarkan kearifan lokal yang harus
dihormati oleh bisnis. Kearifan lokal ini bisa bersumber pada tata dan
kelembagaan adat yang selama pemerintahan Suharto ditekan, dan sekarang banyak
yang direvitalisasi dan didemokratisasi.
Pola
pertama ini tidak mencampuri urusan internal pengambilan keputusan di dalam
perusahaan. Kontrol kepentingan publik dilakukan dari luar. Hanya perusahaan
yang bersedia menaati rambu-rambu investasi yang diperkenankan untuk melakukan
kegiatan bisnis di lokasi tersebut. Perusahaan lain yang tidak bersedia
mematuhi rambu-rambu tersebut dipersilahkan pergi ke lokasi di mana
masyarakatnya merumuskan rambu-rambu investasi secara berbeda, atau tidak
merumuskannya sama sekali sehingga perusahaan tinggal melakukan negosiasi
dengan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Dalam
hal ini tidak perlu dibedakan antara perusahaan yang memanfatkan barang-barang
publik seperti kekayaan alam atau perusahaan jasa yang hanya membutuhkan
kandungan lokal yang tidak terlalu banyak. Revitalisasi kelembagaan adat ini
tentu saja mengandung bahaya. Bisa jadi yang mengemuka adalah kepentingan elite
adat, atau elite lama yang kemudian muncul sebagai tokoh-tokoh adat, dan
bukannya kepentingan publik yang lebih luas.
Kedua,
di lokasi-lokasi di mana tidak ada kelembagaan adat yang bisa memberikan dasar
bagi kontrol publik atas bisnis, warga bisa merumuskan konsensus-konsensus
bersama mengenai rambu-rambu yang harus ditaati oleh bisnis. Forum multi-pelaku
di tingkat kota bisa digunakan untuk membangun kesepakatan-kesepakatan
tersebut.
Apabila
dianggap telah terjadi pelanggaran terhadap sebuah rambu, warga bisa melakukan
tekanan publik secara langsung terhadap sebuah perusahaan. Memang tidak
sederhana membangun sebuah Forum Multi-Pelaku, dan juga tidak sederhana
membangun kesepakatan antar pelaku di sebuah kabupaten/kota mengenai kontrol
publik terhadap bisnis. Tetapi memang kehidupan bernegara tidaklah pernah
sederhana.
Ketiga,
publik mendelegasikan kontrol terhadap bisnis kepada negara, seperti yang telah
berlangsung selama ini. Di sini ada masalah representasi yang bertingkat. Pada
tingkat pertama, rakyat belum bisa membuat partai politik memenuhi kebutuhan
dan memecahkan masalah mereka.
Seperti
yang sudah disebut di atas, sampai sekarang ini di Indonesia belum ada parpol
yang progamnya dirumuskan dari bawah oleh konstituennya, dan bukan oleh DPP.
Karena itu terjadi kesenjangan kepentingan antara parpol dan konstituennya.
Misalnya, banyak kaum miskin desa dan kota yang justru merasa dirugikan oleh
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang dikuasai oleh partai
marhaen.
Pada
tingkat kedua, negara yang seharusnya berdiri di atas semua golongan dan dengan
demikian bisa mewakili kepentingan publik ternyata juga lebih sering
mengutamakan kepentingannya sendiri dalam masalah pengelolaan sumber-sumber
daya. Salah satu contohnya adalah gagalnya pemerintah sebelum mulainya krisis
ekonomi pada tahun 1997 untuk menegakkan peraturan mengenai batas maksimum
pemberian kredit bank pada umumnya dan batas maksimum pemberian kredit kepada
perusahaan di dalam kelompok bisnisnya pada khususnya.
Keempat,
publik melakukan kontrol dengan jalan masuk ke dalam struktur pengambilan
keputusan di dalam perusahaan. Dalam kasus pengelolaan kekayaan alam berupa
hutan, tanah, dan kekayaan mineral, komunitas yang sudah diakui hak-hak atas
tanah ulayatnya di mana kegiatan bisnis akan dilakukan bisa melakukan negosiasi
kepemilikan saham dengan perusahaan yang akan melakukan investasi tersebut.
Pertanyaannya,
kalau kepemilikan saham komunitas adalah minoritas, tidak akan ada gunanya
dalam pengambilan keputusan. Tetapi kalau maunya kepemilikan saham komunitas
adalah mayoritas, apakah ada perusahaan yang bersedia untuk melakukan
investasi? Koperasi-koperasi raksasa yang sahamnya dimiliki oleh anggota
koperasi tetap tidak memecahkan masalah tanggung jawab publik ini karena yang
menjadi isu adalah adanya kesenjangan antara kepentingan pemilik modal dengan
kepentingan publik.
Ke
mana sebetulnya arah tujuan dari kontrol publik terhadap bisnis? Kearifan lokal
Flores Timur mempunyai sebuah konsep yang disebut Gemohing, yang
mempunyai arti yang lebih luas dari konsep gotong-royong yang sekadar
menekankan pada upaya bersama anggota komunitas untuk melakukan sebuah
pekerjaan publik tertentu.
Gemohing tidak hanya mengatur pengolahan sumber daya tetapi juga
cara menikmati hasilnya. Pendek kata, arti Gemohing adalah bekerja
bersama dan menikmati hasilnya bersama juga. Kalau mau dikerangkakan dalam
konsep Marx, bunyinya jadi kira-kira seperti ini: produksi nilai lebih bersama
dan menikmatinya secara bersama.
Kalau
itu berhasil dilakukan, kapitalisme akan mengalami perubahan yang substansial
karena nilai lebih itu sendiri menjadi kehilangan artinya. Insentif dalam
bentuk akumulasi modal dan kekayaan yang melekat pada kepemilikan pribadi atas
alat-alat produksi menjadi tidak ada lagi. Jangan-jangan bukan cuma John F
Kennedy yang pernah pergi belajar sampai ke negeri Flores, tetapi Karl Marx
juga pernah berlayar ke sana seabad sebelumnya.
Seiring
dengan penerapan kontrol publik terhadap bisnis, maka bentuk hubungan-hubungan
sosial kapitalisme pun juga berubah. Tetapi perubahannya ternyata tidak bisa
dipaksakan melalui sebuah revolusi bersenjata seperti yang sudah dicoba di Uni
Soviet dan Cina di abad 20 yang lalu karena lagi-lagi yang muncul adalah
kesenjangan antara kepentingan publik dengan kepentingan negara.
Sebetulnya
tarik ulur seperti ketegangan antara kepentingan publik, kepentingan negara,
dan kepentingan modal inilah yang oleh Marx disebut sebagai hubungan dialektik,
yang nanti pada jangka panjangnya diharapkan bisa mewujudkan Gemohing.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------