Meminjam
sistem klasifikasi Robinson (dalam Ekstrand, 1997: 350), kita dapat membedakan
adanya tiga perspektif multikulturalisme di dalam sistem pendidikan (1)
perspektif “cultural assimilation”; (2) perspektif “cultural pluralism”; dan
(3) perspektif ”cultural synthesis”.
Yang
pertama merupakan suatu model transisi di dalam sistem pendidikan yang
menunjukkan proses asimilasi anak atau subyek didik dari berbagai kebudayaan
atau masyarakat sub-nasional ke dalam suatu “core society”.
Yang
kedua suatu sistem pendidikan yang menekankan pada pentingnya hak bagi semua
kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan
identitas kultural masing-masing.
Yang
ketiga merupakan sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis, yang
menekankan pentingnya proses terjadinya eklektisisme dan sintesis di dalam diri
anak atau subyek didik dan masyarakat, dan terjadinya perubahan di dalam
berbagai kebudayaan dan masyarakat sub nasional.
Di
dalam konteks suatu sistem politik kesukuan (ethnic politics), proses politik
memiliki kecenderungan kuat untuk memilih ujung-ujung ekstrim diantara
polarisasi pilihan perspektif pendidikan “asimilionis pluralis”. Oleh karena
tekanannya pada pergumulan integrasi nasional sebagai konsekuensi dari kuatnya potensi
konflik etnik yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia di bawah pemerintahan
orde lama dan orde baru, misalnya, sistem pendidikan nasional kita selama ini
diselenggarakan dengan memberikan tempat sangat penting pada aplikasi
perspektif pendidikan asimilasionis di atas argumen tentang pentingnya
pembentukan “satu” kebudayaan nasional bagi pembangunan institusi-institusi
koalisi dan brokerage multietnik yang sangat kuat bagi proses integrasi
nasional.
Pemberian
tempat yang berlebihan pada fungsi pendidikan “integratif” melalui aplikasi
perspektif asimilasionis itu telah terbukti gagal menciptakan
institusi-institusi koalisi dan brokerage sebagai bangunan yang kokoh bagi
berkembangnya proses integrasi nasional.
Sebaliknya,
yang berhasil kita ciptakan melalui kebijakan pendidikan yang demikian tidaklah
lebih dari suatu bangunan institusi-institusi koalisi dan brokerage semu yang
sangat rapuh bagi pengembangan proses integrasi nasional.
Gerakan
reformasi Mei 1998 untuk mentransformasikan otoritarianisme orde baru menuju
transisi demokrasi sebaliknya telah menyemaikan berkembangnya kesadaran baru
tentang pentingnya otonomi masyarakat sipil yang oleh Ektransd disebut sebagai
perspektif multikulturalisme radikal’(radical multiculturalism) sebagaimana
yang kini agaknya telah diakomodasi oleh UU_SISDIKNAS baru menggantikan
Undang-undang no 2 Tahun 1989.
Di
dalam konteks perkembangan sistem politik Indonesia
saat ini, pilihan perspektif pendidikan yang demikian memiliki peluang kan semakin menguatnya
ketidakmampuan kita sebagai bangsa untuk membangun institusi-institusi koalisi
dan brokerage multikultural yang justru sangat diperlukan sebagai landasan bagi
pengembangan sistem politik rasional yang kuat. Sebagaimana sudah disebutkan di
muka, perspektif pendidikan pluralis radikal sangat menekankan [pentingnya
akomodasi hak setiap kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara
dan mempertahankan identitas kebudayaan dan masyarakat nasional.
Menurut
hemat saya, yang diperlukan sebagai landasan yang kokoh bagi pembangunan sistem
demokrasi di dalam masyarakat Indonesia
yang sangat majemuk ini adalah aplikasi pilihan perspektif pendidikan yang
ketiga, yang sebagaimana sudah disebutkan di muka merupakan sintesis dari
aplikasi perspektif pendidikan asimilasionis dan pluralis.
Sebagaimana
sudah dikemukakan pula, perspektif pendidikan yang demikian memberikan peran
pada pendidikan multikultural sebagai instrumen bagi pengembangan eklektisisme
dan sintesis beragam kebudayaan sub-nasional pada tingkat individual dan masyarakat
dan bagi promosi terbentuknya suatu “melting pot” dari beragam kebudayaan dan
masyarakat sub nasional.
Pilihan
perspektif pendidikan “sintesis multikultural” memiliki rasionalnya yang paling
dasar di dalam hakekat tujuan suatu pendidikan multikultural, yang dapat
diidentifikasikan melalui tiga tujuan berikut (Ekstrand, 1997:349): tujuan
“attitudinal”; tujuan”kognitif”: dan tujuan “instruksional”.
Pada
tingkat attitudinal, pendidikan multikultural memiliki fungsi untuk menyemaikan
dan mengembangkan sensitivitas kultural, toleransi kultural, penghormatan
terhadap identitas kultural, pengembangan sikap budaya responsif, dan keahlian
untuk melakukan penolakan dan resolusi konflik.
Pada
tingkat kognitif, pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi pencapaian
kemampuan akademik, pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan kebudayaan,
kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku kultural, dan
kemampuan untuk membangun kesadaran kritis tentang kebudayaan sendiri.
Pada
tingkat instruksional, pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk
mengembangkan kemampuan untuk melakukan koreksi atas distorsi-distorsi,
stereotype-stereotype, peniadaan-peniadaan, dan mis-informasi tentang
kelompok-kelompok etnik dan kultural yang dimuat di dalam berbagai buku dan
media pembelajaran; menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup di
dalam pergaulan multikultural, mengembangkan keterampilan-keterampilan
komunikasi inter-personal, menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi,
dan membantu menyediakan klarifikasi dan penjelasan –penjelasan tentang
dinamika– dinamika perkembangan kebudayaan. [DR. Nasikun]
Source:
Makalah ini dipresentasikan pada seminar “Pendidikan Multikultural sebagai Seni
Mengelola Keragaman” oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS)
Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada Sabtu 8 Januari 2005, di Ruang Seminar
Fakultas Ekonomi UMS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar