Kamis, 24 Mei 2012

Belajar sampai ke Negeri Flores


Siapa menawan siapa
Ketika membaca artikel Herry Priyono Memahami Leviathan Baru, saya merasa seperti tokoh dalam ceritera legenda Rip van Winkle. Karena saya membaca cerita legenda itu ketika masih SMA, detailnya tidak ingat persis lagi. Tetapi, kira-kira ceriteranya begini. Suatu saat ketika sedang berburu di hutan, Rip van Winkle jatuh tertidur. Dan tertidurnya tidak tanggung-tanggung. Dia tertidur selama satu generasi. Ketika terbangun, jenggot dan kumisnya sudah sangat panjang, senapan di tangannya berkarat, dan anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa tidak lagi mengenalinya.
Begitulah, saya merasa asing ketika sekarang ini mendengar orang berbicara mengenai bisnis, modal, atau perusahaan swasta sebagai Leviathan baru yang menawan pemerintah dan bagaimana cara memahaminya. Sudah sedemikian berubahkah dunia ini?
Rasanya belum lama, yaitu pada tahun 1980-an ketika kalangan akademika luar dan dalam negeri banyak memperdebatkan masalah hubungan antara negara dan modal. Teori basis-superstrukturnya Marx pun dinterpretasikan macam-macam. Yang ortodok bilang modal menentukan negara, atau dengan kata lain pemerintah telah menjadi tawanan sektor bisnis. Yang lebih mampu melihat kekompleksan hidup bermasyarakat lantas mengajukan teori bahwa negara mempunyai otonomi relatif terhadap modal. Seberapa besar kerelatifannya menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Pada satu titik waktu tertentu, siapa yang menawan siapa menjadi tidak jelas lagi.
Masalah hubungan antara pemerintah dan bisnis menjadi lebih kompleks lagi karena akumulasi modal sering tidak berlangsung dalam batas-batas nasional negara. Saya jadi teringat dongeng Braudel tentang zaman nenek moyang dulu, yaitu dulu ketika terjadi Perang Salib pada abad ke 16. Yang ingin dipahami bukan siapa menawan siapa, tetapi bagaimana kegiatan bisnis terjadi dalam konteks sebuah sistem hubungan antarnegara.
"Tentara Islam dan Kristen saling berhadapan di sepanjang garis utara-selatan yang memisahkan Levant dan Mediterranean Barat, yang merupakan sebuah garis dari pantai Adriatic ke Sicily dan terus memanjang sampai ke pantai Tunisia. Semua perang akbar antara tentara Kristen dan Islam terjadi di garis ini. Tetapi kapal-kapal pedagang tetap saja sibuk wira-wiri setiap hari di jalur tersebut". (Braudel, 1984, 22)
Kenapa sekarang ini rasanya asing kalau mau membicarakan perdebatan-perdebatan di atas, dari pengakuan akan adanya pluralitas determinasi dalam pendekatan otonomi relatif negara sampai pada kompleksitas hubungan akumulasi modal dengan sistem antarnegara. Apakah memang betul dunia ini sekarang sudah berubah menjadi jauh lebih sederhana, sehingga menjadi sebegitu transparannya siapa yang menawan siapa.
Wacana bahwa kegiatan bisnis itu merupakan kegiatan publik, dan dengan demikian harus ada kontrol publik langsung atas bisnis, seperti halnya ada kontrol publik langsung terhadap pemerintah sebetulnya tidak perlu dikondisikan pada argumen tertawannya pemerintah oleh bisnis. Karena kenyataan riilnya jauh lebih kompleks.
Hal-hal ini dalam dunia riil bisa terjadi secara bersamaan dan saling mempengaruhi: ada bisnis yang menawan negara (ekonomi rente), ada simbiosis mutualistis antara pemerintah dan bisnis, sehingga tidak perlu tawan-menawan (pemerintah mengandalkan pemasukan dari pajak perusahaan), ada kenyataan negara berpolitik secara manipulatif dengan berpura-pura telah tertawan oleh bisnis (demi menarik investasi jangka panjang perusahaan tambang), dan di samping itu ada masalah representasi dalam negara (agenda partai politik ditentukan oleh DPP, bukan oleh konstituennya) yang membuat kontrol publik terhadap bisnis yang dilakukan melalui negara menjadi tidak efektif.
Bagaimana sebetulnya menempatkan bisnis supaya berada di bawah kontrol publik, tetapi, seperti ketakutannya Herry Priyono, tanpa menjadi anti-bisnis seperti yang dipraktikkan di negara-negara komunis di masa lalu? Seperti yang sudah dikatakan di atas, kontrol terhadap bisnis melalui negara memang bermasalah karena adanya ketertawanan pemerintah, adanya berbagai kepentingan negara untuk bergandengan tangan dengan bisnis, dan juga karena masih adanya masalah representasi di dalam negara itu sendiri.
Yang ingin dikembangkan adalah wacana bahwa harus ada kontrol publik langsung terhadap bisnis. Di mana mencari legitimasi konseptual untuk pengembangan wacana itu, sehingga bukan saja membuat masyarakat bisa menerima keabsahannya, tetapi juga mulai mempraktikkannya? Tentu saja menggali dari kekayaan filsafat Eropa akan sangat membantu, tetapi diskusi tentang Pak Gempol dan Pak Wono dan kearifan lokal lain sejenisnya pasti juga tidak kalah menariknya dan tidak kurang manfaatnya.
Belajar sampai ke Negeri Flores
Baru-baru ini saya membaca sebuah Kerangka Acuan untuk Penilaian Partisipatif Tata Pemerintahan di Larantuka, Flores Timur, yang difasilitasi oleh Partnership for Governance Reform (Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan). Kerangka Acuan tersebut ditulis oleh KiPer HAM (Koalisi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia), yang merupakan sebuah LSM yang bergerak dalam bidang advokasi. Dalam kerangka acuan tersebut ada sebuah kutipan yang bagi kalangan akademika, intelektual, atau politikus tidak asing lagi kedengarannya. Kutipan tersebut berbunyi, "Jangan tanyakan apa yang Negara berikan kepada saya, tetapi tanyakan apa yang saya berikan kepada Negara."
Pada waktu pertama kali membacanya, saya jadi bertanya-tanya. Kenapa pada zaman era informasi serba cepat lewat internet dan SMS ini masih ada orang yang berani mengutip sebuah kalimat masyhur yang kebanyakan orang tahu sumbernya, tetapi tanpa menyebutkan nama pencetus kutipan tersebut. Apa orang ini tidak taku malu kalau sampai disebut sebagai plagiator? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kutipan itu diasosiasikan dengan ucapan Presiden John F Kennedy untuk mengobarkan semangat nasionalisme rakyat AS ketika menghadapi perang Vietnam.
Ternyata saya keliru. Sudah mengidap sindrom Rip van Winkel, ternyata saya juga mengidap sindrom bias kulit putih, yaitu belum-belum sudah langsung menganggap bahwa sebuah gagasan yang baik hanya bisa berasal dari orang kulit putih yang menduduki posisi elite di tingkat dunia.
Kutipan dalam Kerangka Acuan tersebut ternyata diambil dari kearifan lokal Flores Timur, yaitu dari konsep "Gelekat Lewo Gewayang Tanah", yang artinya mengabdi dan melayani kampung dan tanah air. Ini berarti mengabdi pada kepentingan publik yang berada di atas kepentingan pribadi dan golongan. Coba dicek yang benar dalam lembaran sejarah. Jangan-jangan John F Kennedy itu yang justru pernah belajar sampai ke negeri Flores untuk menambah kecerdasannya, dan bukannya hanya berhenti pada membaca karya-karya para filsof dari Eropa.
Tidak heran kalau Kennedy saja mau belajar sampai ke negeri Flores. Karena yang namanya kearifan lokal itu memang kaya dan pantas digali kecerdasannya. Ibaratnya musisi Paul Simon yang pernah keliling di beberapa negara Afrika untuk menggali ritme-ritme lokal di sana, tetapi tentu saja dengan tujuan komersial untuk membuat album musiknya.
Dan saya memang terpana ketika mendengar Sita Aripurnami berceritera mengenai seorang bapak yang menjual minuman Plered Gempol di daerah Bulak Sumur, Yogya. Bagi yang tidak tahu, Plered Gempol adalah minuman sejenis cendol, tetapi cendolnya diganti dengan bulet-buletan seperti ronde. Lain dengan ronde, makanan ini tidak diisi dengan kacang, melainkan cuma diplered (dipencet) tengahnya.
Untuk mudahnya, penjual minuman itu kita sebut saja dia sebagai Pak Gempol, seorang pengusaha swasta skala pikulan. Biar gurem tetapi swasta. Pekerjaannya merupakan sebuah business enterprise. Karena sangat suka sama Plered Gempol, almarhum Umar Kayam, ayahnya Sita, ingin membeli semua dagangan Pak Gempol hari itu. Maunya biar nanti semua anggota keluarganya bisa menikmati Plered Gempol sekenyang-kenyangnya tanpa harus menunggu-nunggu kapan Pak Gempol akan lewat lagi hari itu. Maklum satu keluarga senang makan semua.
Akan tetapi apa dinyana, Pak Gempol ternyata menolak menjual semua dagangannya. Tidak masuk akal! Kenapa menolak? Bukankah dagangannya akan cepat habis kalau langsung diborong? Dan dia tidak usah capek-capek memikul dan menjajakan dagangan secara berkeliling. Sudah capek keliling, dan kalau sampai hujan, belum tentu laku sampai habis lagi. Jawaban Pak Gempol sangat mencengangkan, "Jangan dibeli semua Pak. Nanti pelanggan saya yang lainnya tidak kebagian."
Plered Gempol yang merupakan produk private enterprise-nya Pak Gempol ternyata merupakan sebuah barang publik. Pak Gempol tahu persis itu, makanya dia menolak ketika Umar Kayam mau memonopoli produk Plered Gempolnya waktu itu. Tetapi wacana kontrol publik seperti apa yang membuat Pak Gempol, seorang pengusaha swasta, mampu menolak upaya borongan yang kalau dilihat dari sisi pendapatan sebetulnya meringankan dia?
Barangkali Plered Gempol ini skalanya terlalu mikro untuk bisa membantu berpikir mengenai kontrol publik terhadap bisnis. Kalau skala masalahnya diperluas, bisa jadi akan membantu kita untuk semakin memahami permasalahan kontrol publik terhadap usaha swasta ini.
Coba kita kaji kasus seorang pengumpul kayu bakar di hutan yang kemudian dijual ke kota. Karena mengumpulkan kayu bakar di hutan, kita sebut saja Pak Wono. Wono dalam bahasa Jawa berarti hutan. Pak Wono, Pak Gempol, dan orang-orang lain sejenisnya ini sangat mengesalkan orang-orang yang menganut rasionalitas etika protestanisme dalam hal akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi.
Ceriteranya setiap hari Pak Wono mengumpulkan sepikul, cuma sepikul, kayu bakar di hutan untuk dijual ke langganan-langganannya di kota. Kalau hari ini dia, karena satu dan lain hal, terpaksa mengumpulkan dua pikul kayu, besoknya dia ambil cuti. Seharian dia di rumah momong anaknya sambil rengeng-rengeng berdendang.
Padahal, bagi para penganjur akumulasi, kalau Pak Wono mau setiap hari mengumpulkan kayu bakar dua pikul, atau bahkan tiga pikul, dia akan bisa menabung untuk kemudian menambah modal usahanya. Demikian seterusnya sehingga usaha Pak Wono akan semakin besar dan menghasilkan semakin banyak laba untuk kemudian ditanam kembali, sehingga nanti Pak Wono bisa menjadi juragan kayu bakar yang menghasilkan puluhan pikul setiap harinya.
Buat mereka, Pak Wono ini irasional dan betul-betul mengesalkan. Dia dianggap merupakan simbol kemalasan orang-orang di negara-negara terbelakang, yang menyebabkan negara-negara itu susah betul untuk disuruh mengikuti jejak perkembangan ekonomi yang sudah ditunjukkan, dan dibukukan dalam buku-buku text books, oleh negara-negara industri maju.
Yang tidak dipahami oleh para penganjur akumulasi tersebut adalah bahwa ternyata usaha swasta Pak Wono, skalanya juga pikulan, memang tidak memuja akumulasi modal. Kontrol publik terhadap bisnis Pak Wono terwujud melalui sebuah kearifan lokal yang memandang hutan tidak untuk digunduli demi membesarkan skala usaha. Usaha swasta yang beroperasi dalam konteks kearifan lokal mempunyai built in mechanism berupa akuntabilitas terhadap kepentingan publik.
Dalam hal Pak Gempol, ada kepentingan publik konsumen yang mempunyai hak untuk menikmati Plered Gempol. Dalam kasus Pak Wono, ada kepentingan publik yang terancam kalau hutan sampai gundul.
Pada skala kelembagaan adat, kitab Awig-awig kebudayaan Sasak di Lombok Barat, misalnya, juga memandang hutan bukan sebagai komoditas yang bisa dipakai untuk memacu akumulasi modal. Sekarang ini sedang dilakukan upaya untuk merevitalisasi dan sekaligus mendemokratisasi kelembagaan adat Sasak di sana. Apabila kelembagaan adat sudah berfungsi lagi dengan baik, untuk menebang sebuah pohon di hutan seorang warga harus meminta izin beberapa Mangku dan meyakinkan mereka bahwa dirinya memang betul-betul membutuhkan kayu tersebut untuk kepentingan hidupnya.
Kalau masyarakat Sasak boleh ikut menentukan kebijakan investasi di Lombok Barat bagian Utara, tidak akan ada perusahaan HPH yang bisa memperoleh izin operasi di kaki gunung Rinjani tersebut yang kemudian menggunduli hutan, dan seperti sekarang ini menyebabkan terjadinya banjir di musim hujan dan matinya puluhan mata air di musim kemarau.
Kalau sudah terjadi kerusakan lingkungan seperti itu, biarpun angka statistik pada skala kabupaten menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang lumayan karena adanya penebangan hutan yang intensif, kerugian ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat sekitar luar biasa besarnya, dan tingkat kesejahteraan mereka dengan sendirinya menurun. Itu merupakan contoh sebuah pertumbuhan ekonomi yang tidak menguntungkan masyarakat.
Menuju Gemohing?
Tantangannya memang bukan untuk membuat perusahaan sekadar mempunyai corporate responsibility terhadap komunitas dan lingkungan di mana dia menanamkan modalnya. Corporate responsibility tidak pernah menyentuh masalah fundamental dalam pengambilan keputusan mengenai investasi, yaitu bahwa publik mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan mengenai kegiatan bisnis yang dilakukan di wilayahnya.
Corporate responsibility sering dipakai sebagai perisai oleh perusahaan untuk menutupi dampak negatif dari kegiatan bisnis mereka terhadap lingkungan. Dengan memberikan dana untuk pengembangan komunitas, menyelenggarakan program peningkatan kapasitas Usaha Kecil dan Menengah, atau memperbaiki infrastruktur, perusahaan mengalihkan perhatian dari adanya hak publik untuk ikut menentukan pengambilan keputusan tentang kegiatan bisnis yang ada di wilayahnya.
Ada empat bentuk kontrol publik atas bisnis yang mungkin dilakukan. Pertama, publik/komunitas menciptakan rambu-rambu berdasarkan kearifan lokal yang harus dihormati oleh bisnis. Kearifan lokal ini bisa bersumber pada tata dan kelembagaan adat yang selama pemerintahan Suharto ditekan, dan sekarang banyak yang direvitalisasi dan didemokratisasi.
Pola pertama ini tidak mencampuri urusan internal pengambilan keputusan di dalam perusahaan. Kontrol kepentingan publik dilakukan dari luar. Hanya perusahaan yang bersedia menaati rambu-rambu investasi yang diperkenankan untuk melakukan kegiatan bisnis di lokasi tersebut. Perusahaan lain yang tidak bersedia mematuhi rambu-rambu tersebut dipersilahkan pergi ke lokasi di mana masyarakatnya merumuskan rambu-rambu investasi secara berbeda, atau tidak merumuskannya sama sekali sehingga perusahaan tinggal melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Dalam hal ini tidak perlu dibedakan antara perusahaan yang memanfatkan barang-barang publik seperti kekayaan alam atau perusahaan jasa yang hanya membutuhkan kandungan lokal yang tidak terlalu banyak. Revitalisasi kelembagaan adat ini tentu saja mengandung bahaya. Bisa jadi yang mengemuka adalah kepentingan elite adat, atau elite lama yang kemudian muncul sebagai tokoh-tokoh adat, dan bukannya kepentingan publik yang lebih luas.
Kedua, di lokasi-lokasi di mana tidak ada kelembagaan adat yang bisa memberikan dasar bagi kontrol publik atas bisnis, warga bisa merumuskan konsensus-konsensus bersama mengenai rambu-rambu yang harus ditaati oleh bisnis. Forum multi-pelaku di tingkat kota bisa digunakan untuk membangun kesepakatan-kesepakatan tersebut.
Apabila dianggap telah terjadi pelanggaran terhadap sebuah rambu, warga bisa melakukan tekanan publik secara langsung terhadap sebuah perusahaan. Memang tidak sederhana membangun sebuah Forum Multi-Pelaku, dan juga tidak sederhana membangun kesepakatan antar pelaku di sebuah kabupaten/kota mengenai kontrol publik terhadap bisnis. Tetapi memang kehidupan bernegara tidaklah pernah sederhana.
Ketiga, publik mendelegasikan kontrol terhadap bisnis kepada negara, seperti yang telah berlangsung selama ini. Di sini ada masalah representasi yang bertingkat. Pada tingkat pertama, rakyat belum bisa membuat partai politik memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah mereka.
Seperti yang sudah disebut di atas, sampai sekarang ini di Indonesia belum ada parpol yang progamnya dirumuskan dari bawah oleh konstituennya, dan bukan oleh DPP. Karena itu terjadi kesenjangan kepentingan antara parpol dan konstituennya. Misalnya, banyak kaum miskin desa dan kota yang justru merasa dirugikan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang dikuasai oleh partai marhaen.
Pada tingkat kedua, negara yang seharusnya berdiri di atas semua golongan dan dengan demikian bisa mewakili kepentingan publik ternyata juga lebih sering mengutamakan kepentingannya sendiri dalam masalah pengelolaan sumber-sumber daya. Salah satu contohnya adalah gagalnya pemerintah sebelum mulainya krisis ekonomi pada tahun 1997 untuk menegakkan peraturan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank pada umumnya dan batas maksimum pemberian kredit kepada perusahaan di dalam kelompok bisnisnya pada khususnya.
Keempat, publik melakukan kontrol dengan jalan masuk ke dalam struktur pengambilan keputusan di dalam perusahaan. Dalam kasus pengelolaan kekayaan alam berupa hutan, tanah, dan kekayaan mineral, komunitas yang sudah diakui hak-hak atas tanah ulayatnya di mana kegiatan bisnis akan dilakukan bisa melakukan negosiasi kepemilikan saham dengan perusahaan yang akan melakukan investasi tersebut.
Pertanyaannya, kalau kepemilikan saham komunitas adalah minoritas, tidak akan ada gunanya dalam pengambilan keputusan. Tetapi kalau maunya kepemilikan saham komunitas adalah mayoritas, apakah ada perusahaan yang bersedia untuk melakukan investasi? Koperasi-koperasi raksasa yang sahamnya dimiliki oleh anggota koperasi tetap tidak memecahkan masalah tanggung jawab publik ini karena yang menjadi isu adalah adanya kesenjangan antara kepentingan pemilik modal dengan kepentingan publik.
Ke mana sebetulnya arah tujuan dari kontrol publik terhadap bisnis? Kearifan lokal Flores Timur mempunyai sebuah konsep yang disebut Gemohing, yang mempunyai arti yang lebih luas dari konsep gotong-royong yang sekadar menekankan pada upaya bersama anggota komunitas untuk melakukan sebuah pekerjaan publik tertentu.
Gemohing tidak hanya mengatur pengolahan sumber daya tetapi juga cara menikmati hasilnya. Pendek kata, arti Gemohing adalah bekerja bersama dan menikmati hasilnya bersama juga. Kalau mau dikerangkakan dalam konsep Marx, bunyinya jadi kira-kira seperti ini: produksi nilai lebih bersama dan menikmatinya secara bersama.
Kalau itu berhasil dilakukan, kapitalisme akan mengalami perubahan yang substansial karena nilai lebih itu sendiri menjadi kehilangan artinya. Insentif dalam bentuk akumulasi modal dan kekayaan yang melekat pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi menjadi tidak ada lagi. Jangan-jangan bukan cuma John F Kennedy yang pernah pergi belajar sampai ke negeri Flores, tetapi Karl Marx juga pernah berlayar ke sana seabad sebelumnya.
Seiring dengan penerapan kontrol publik terhadap bisnis, maka bentuk hubungan-hubungan sosial kapitalisme pun juga berubah. Tetapi perubahannya ternyata tidak bisa dipaksakan melalui sebuah revolusi bersenjata seperti yang sudah dicoba di Uni Soviet dan Cina di abad 20 yang lalu karena lagi-lagi yang muncul adalah kesenjangan antara kepentingan publik dengan kepentingan negara.
Sebetulnya tarik ulur seperti ketegangan antara kepentingan publik, kepentingan negara, dan kepentingan modal inilah yang oleh Marx disebut sebagai hubungan dialektik, yang nanti pada jangka panjangnya diharapkan bisa mewujudkan Gemohing
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar: