Sabtu, 12 Mei 2012

Imperatif Pendidikan Multikultural di Masyarakat Majemuk


Meminjam sistem klasifikasi Robinson (dalam Ekstrand, 1997: 350), kita dapat membedakan adanya tiga perspektif multikulturalisme di dalam sistem pendidikan (1) perspektif “cultural assimilation”; (2) perspektif “cultural pluralism”; dan (3) perspektif ”cultural synthesis”.
Yang pertama merupakan suatu model transisi di dalam sistem pendidikan yang menunjukkan proses asimilasi anak atau subyek didik dari berbagai kebudayaan atau masyarakat sub-nasional ke dalam suatu “core society”.
Yang kedua suatu sistem pendidikan yang menekankan pada pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing.
Yang ketiga merupakan sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis, yang menekankan pentingnya proses terjadinya eklektisisme dan sintesis di dalam diri anak atau subyek didik dan masyarakat, dan terjadinya perubahan di dalam berbagai kebudayaan dan masyarakat sub nasional.
Di dalam konteks suatu sistem politik kesukuan (ethnic politics), proses politik memiliki kecenderungan kuat untuk memilih ujung-ujung ekstrim diantara polarisasi pilihan perspektif pendidikan “asimilionis pluralis”. Oleh karena tekanannya pada pergumulan integrasi nasional sebagai konsekuensi dari kuatnya potensi konflik etnik yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia di bawah pemerintahan orde lama dan orde baru, misalnya, sistem pendidikan nasional kita selama ini diselenggarakan dengan memberikan tempat sangat penting pada aplikasi perspektif pendidikan asimilasionis di atas argumen tentang pentingnya pembentukan “satu” kebudayaan nasional bagi pembangunan institusi-institusi koalisi dan brokerage multietnik yang sangat kuat bagi proses integrasi nasional.
Pemberian tempat yang berlebihan pada fungsi pendidikan “integratif” melalui aplikasi perspektif asimilasionis itu telah terbukti gagal menciptakan institusi-institusi koalisi dan brokerage sebagai bangunan yang kokoh bagi berkembangnya proses integrasi nasional.
Sebaliknya, yang berhasil kita ciptakan melalui kebijakan pendidikan yang demikian tidaklah lebih dari suatu bangunan institusi-institusi koalisi dan brokerage semu yang sangat rapuh bagi pengembangan proses integrasi nasional.
Gerakan reformasi Mei 1998 untuk mentransformasikan otoritarianisme orde baru menuju transisi demokrasi sebaliknya telah menyemaikan berkembangnya kesadaran baru tentang pentingnya otonomi masyarakat sipil yang oleh Ektransd disebut sebagai perspektif multikulturalisme radikal’(radical multiculturalism) sebagaimana yang kini agaknya telah diakomodasi oleh UU_SISDIKNAS baru menggantikan Undang-undang no 2 Tahun 1989.
Di dalam konteks perkembangan sistem politik Indonesia saat ini, pilihan perspektif pendidikan yang demikian memiliki peluang kan semakin menguatnya ketidakmampuan kita sebagai bangsa untuk membangun institusi-institusi koalisi dan brokerage multikultural yang justru sangat diperlukan sebagai landasan bagi pengembangan sistem politik rasional yang kuat. Sebagaimana sudah disebutkan di muka, perspektif pendidikan pluralis radikal sangat menekankan [pentingnya akomodasi hak setiap kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas kebudayaan dan masyarakat nasional.
Menurut hemat saya, yang diperlukan sebagai landasan yang kokoh bagi pembangunan sistem demokrasi di dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini adalah aplikasi pilihan perspektif pendidikan yang ketiga, yang sebagaimana sudah disebutkan di muka merupakan sintesis dari aplikasi perspektif pendidikan asimilasionis dan pluralis.
Sebagaimana sudah dikemukakan pula, perspektif pendidikan yang demikian memberikan peran pada pendidikan multikultural sebagai instrumen bagi pengembangan eklektisisme dan sintesis beragam kebudayaan sub-nasional pada tingkat individual dan masyarakat dan bagi promosi terbentuknya suatu “melting pot” dari beragam kebudayaan dan masyarakat sub nasional.
Pilihan perspektif pendidikan “sintesis multikultural” memiliki rasionalnya yang paling dasar di dalam hakekat tujuan suatu pendidikan multikultural, yang dapat diidentifikasikan melalui tiga tujuan berikut (Ekstrand, 1997:349): tujuan “attitudinal”; tujuan”kognitif”: dan tujuan “instruksional”.
Pada tingkat attitudinal, pendidikan multikultural memiliki fungsi untuk menyemaikan dan mengembangkan sensitivitas kultural, toleransi kultural, penghormatan terhadap identitas kultural, pengembangan sikap budaya responsif, dan keahlian untuk melakukan penolakan dan resolusi konflik.
Pada tingkat kognitif, pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi pencapaian kemampuan akademik, pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan kebudayaan, kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku kultural, dan kemampuan untuk membangun kesadaran kritis tentang kebudayaan sendiri.
Pada tingkat instruksional, pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan untuk melakukan koreksi atas distorsi-distorsi, stereotype-stereotype, peniadaan-peniadaan, dan mis-informasi tentang kelompok-kelompok etnik dan kultural yang dimuat di dalam berbagai buku dan media pembelajaran; menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup di dalam pergaulan multikultural, mengembangkan keterampilan-keterampilan komunikasi inter-personal, menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi, dan membantu menyediakan klarifikasi dan penjelasan –penjelasan tentang dinamika– dinamika perkembangan kebudayaan. [DR. Nasikun]
Source: Makalah ini dipresentasikan pada seminar “Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman” oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada Sabtu 8 Januari 2005, di Ruang Seminar Fakultas Ekonomi UMS.

Tidak ada komentar: