Minggu, 04 Agustus 2013

Materi Seri bacaan Tani Kondisi Pertanian dan Perjuangan Kaum Tani Ditengah Serangan Imperialisme



Kelemahan Tenaga Produktif Dalam Pertanian di Indonesia  

  1. Pemilikan tanah skala kecil
Hal ini adalah realitas yang nyata. Situasi ini menyebabkan hasil produksi kaum tani tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Oleh karena itu sangat sering kaum tani berlahan sempit ini terpaksa harus menjadi buruh musiman di perkotaan terdekat, menjadi buruh untuk tetangganya sendiri  (petani berlahan sempit lainnya) yang tetap membutuhkan tenaga kerja terutama pada saat musim tanam dan musim panen. Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya iya.

Tabel. Jumlah Petani dan Rata-rata penguasaan tanah di Jawa dan Madura

Tahun Sensus Pertanian
Jumlah Petani di Jawa dan Madura
Rata-Rata Penguasaan Tanah (Ha)
1963
7,95 Juta
0,71
1973
8,27 Juta
0,60
1983
10,27 Juta
0,30
 Sumber : Prof. Sediono M.P Tjondronegoro, Sosiologi Agraria, Hal.13

Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya iya. Tapi kesejahteraan yang meningkat itu akan melalui cara seperti apa? Lalu tanah yang akan dibagi-bagikan kepada kaum tani dari mana? Tak bisa lain dalam sistem kapitalisme bahwa perluasan lahan akan membutuhkan tenaga kerja/buruh. Apakah peningkatan kesejahteraan ini melalui eksploitasi tenaga kerja/buruh ini yang akan menjadi tujuan dari perjuangan kaum tani? Dimana perbedaannya dengan pengusaha perkebunan yang menindas kesejahteraan buruh-buruhnya. Ini satu soal. Lalu tanah yang mana yang akan dibagi-bagikan kepada kaum tani untuk memperluas kepemilikan lahannya? Di pulau Jawa yang menjadi konsentrasi terbesar dari petani berlahan sempit jelas kesulitan untuk menambah perluasaan lahan kecuali melalui program transmigrasi.  Namun pola transimigrasi model Orde Baru yang hingga saat ini tidak terlalu mengamali perubahan, dimana kaum tani dipindahkan ke luar Jawa dan diberikan lahan seluas 2 hektar, dengan dukungan infrastruktur yang tidak memadai jelas bukan menyelesaikan masalah namun justru menambah penderiataan kaum tani. Sangat sering kita mendengar nasib para trnsmigran yang ditelantarkan. Bandingkan dengan pola transmigrasi di Malaysia, transmigrannya diberikan lahan seluas 10 hektar dan dibantu akses kredit murah, yang kewajiban membayarnya baru dicicil ketika sudah mulai berproduksi –inilah tulang punggung keunggulan industri perkebunan di Malaysia jika dibandingkan dengan perkebunan rakyat di Indonesia. Yang diluar Jawa masih mungkin dengan pembukaan hutan. Namun situasi umum yang terjadi diluar Jawa adalah luas tanah yang melimpah ini gagal diolah secara produktif sehingga tanah-tanah adat atau pembukaan hutan gagal menghasilkan struktur produksi pertanian yang kuat dan modern, --kecuali perkebunan-perkebunan yang dikelola secara modern baik BUMN maupun swasta—tanpa bantuan modal dan teknologi.

Persoalan sempitnya lahan yang dimiliki mayoritas kaum tani harus dilihat secara lain. Pada tahun 1930, 60% dari penduduk AS adalah petani berlahan kecil, dan kini petaninya (pengusaha industri pertaniannya) hanya tinggal 3%. Namun hasil produksi yang 3% itu mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional dan bahkan mengekspor, melebihi kemampuan produksi dari yang 60% pada tahun 1930. Demikian juga kejadian umum di negeri-negeri Eropa dalam revolusi dan evolusi perkembangan pertanian dan kaum taninya. Lalu ke mana sisa dari kaum taninya? Diserap oleh industri dalam perkembangan kapitalisme industri. Proses terjadinya konsentrasi tanah dan perubahan pengolahan tanah menjadi industri pertanian yang modern ini bermacam-macam, hampir mirip dengan situasi di Indonesia, yaitu dengan perampasan, penggusuran, penjualan sukarela dsb. Untuk kasus Indonesia proses dari konsentrasi tanah/perubahan kepemilikan untuk melayani perkembangan industri yang melahirkan berbagai sengketa agraria akan dibahas secara tersendiri.

Hukum kapitalisme yang berlandaskan pada persaingan, kompetisi, yang kuat memakan yang lemah berlaku sama, dan akan tetap berjalan demikian di segala aktifitas perekonomian tak terkecuali di bidang pertanian selama aktifitas pertanian itu bersifat kapitalis. Dengan demikian menjadi jelas bahwa persoalan sempitnya lahan pertanian yang dimiliki mayoritas kaum tani adalah kenyataan namun jalan keluar bahwa kepemilikan tanah kaum tani harus diperluas dalam sistem kepemilikan individu tidaklah tepat sebagai program perjuangan kaum tani dan gerakan rakyat Indonesia secara umum.

Problem yang sesungguhnya adalah kapitalisme Indonesia dan kaum imperialis memang berkepentingan untuk tetap membuat tenaga produktif kaum tani dan pertanian Indonesia tidak berkembang dan tetap terbelakang. Program industrialisasi nasional secara massif dan massal, sosialisasi dalam pengelolaan aktifitas industri modern, program pendidikan dan kesehatan gratis yang dapat menjadi jembatan perbaikan nasib kaum tani untuk masuk ke jajaran kelas pekerja modern menjadi terhambat. Nasib kaum tani menjadi bertambah buruk karena kelas penguasa bekerjasama dengan kepentingan kaum imperialis menindas kaum tani melalui:


  1. Kebijakan Pertanian yang Merugikan kaum tani
Sekalipun kediktatoran Orde Baru sudah ditumbangkan oleh mahasiswa dan rakyat apada 1998 nasib kaum tani tidak kunjung berubah. Nasib kaum tani menjadi semakin buruk oleh karena kebijakan ekonomi dan pertanian dari penguasa paska Suharto –dari zaman Habibie hingga Pemerintahan SBY-JK memusuhi kepentingan kaum tani untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Sebaliknya para penguasa ini justru sangat memihak kepentingan dari kaum imperialis pertanian dari negeri-negeri utara yang oleh karena kemajuan teknologi produksi dan dukungan kuat pemerintahnya (kebijakan domestik seperti subsidi dan kebijakan perdagangan internasional seperti dumping dan pengusaaan terhadap lembaga keuangan dan perdagangan global) mampu menghasilkan produksi pertanian yang melimpah dan sekaligus mematikan pesaingnya yaitu kaum tani dan industri pertanian di selatan.

Kebijakan yang merugikan ini diantaranya melalui liberalisasi kebijakan industri yang menjadi pendukung dan penopang sektor sektor pertanian seperti pupuk, listrik, dan minyak dan gas. Liberalisasi sektor ini berarti seluruh output produksinya diabdikan pada kepentingan kaum modal, yang mayoritas adalah asing. Pertama sekali subsidi pupuk dihapuskan karena dianggap memboroskan anggaran negara dan menyalahi doktrin pasar bebas. Selanjutnya hasil-hasil pertambangan minyak dan gas kepemilikian dan distribusinya lebih diprioritaskan untuk melayani kebutuhan dan konsumsi oleh dan dari industri-industri di negeri-negeri kapitalis maju. Sehingga industri dalam negeri seperti PLN, industri pupuk –sebagian bahkan harus ditutup seperti PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan terancam ditutup seperti PT PIM (Pupuk Iskandar Muda) I dan II di Aceh--, dan Pertamina kekurangan pasokkan minyak gas, hal ini menjadi alasan tambahan aabagi Pemerintah SBY-Kalla untuk secara rutin menaikan harga listrik, BBM, gas. Apa dampaknya bagi kaum tani? Harga pupuk, harga jasa pengolahan hasil panen (perontokan, penggilingan dsb), dan pengangkutan terus meningkat. Jika kaum tani bukan pemilik situasi ini dijadikan alasan untuk menaikan biaya pengangkutan dan penyewaan alat-alat pertanian yang dibutuhkan oleh kaum tani. Sehingga biaya produksi yang ditanggung kaum tani meningkat yang otomatis menyebabkan pendapatan kaum tani terus menurun.

Hasil analisis dari Forum Petani Karawang pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari data yang dikompilasi dari usaha tani petani di Desa Cikuntul, Karawang menggambarkan bahwa biaya produksi per hektar meningkat dari Rp. 1.800.500 pada tahun 1996 menjadi Rp.2.709.000 pada tahun 1999, sementara itu harga gabah cenderung tetap yaitu pada tingkat harga Rp. 1000/kg pada tahun 1996 dan Rp. 1100/kg pada tahun 1999 (Forum Petani Karawang, 2002).

Ditengah berbagia kebijakan yang menindas sistem produksi kaum tani Indonesia ini, Pemerintah Suharto dan penggantinya, tak terkecuali Pemerintahan SBY-JK  melengkapi penindasan dan karakternya sebagai kakitangan kaum imperialis dengan kebijakan liberalisasi impor pangan.

Kaum imperialis, melalui dukuangan pemerintah nasionalnya yanga menguasai IMF, Bank Duni, dan WTO, serta tekanan hutang luang negeri, melalui IMF sebagai kreditur hutang dan pemerintahan Indonesia yang bersedia diperalat memaksa Indonesia untuk:
(1) Mencabut subsidi pupuk dan liberalisasi tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI. Hal ini dilakukan dengan tanpa kompensasi apapun bagi petani, yang mengakibatkan melonjaknya harga pupuk dari Rp.450/kg menjadi Rp. 1.115/kg, dana terus meningkat pada tahaun-tahuan selanjutnya. Hal ini berakibat pada peningkatan biaya produksi petani menjadi 2 kali lipat.

(2) Pemerintah melikuidasi peran BULOG, sebagai instrumen untuk menjaga stok pangan dan perlindungan petani dengan membuka peran swasta secara luas untuk mengimpor beras. Pemerintah juga menghapuskan pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia bagi Bulog untuk membeli gabah petani.

(3) Yang paling fatal adalah mematok tarif impor pangan pada angka 5 %, untuk beras sebagai makanan pokok bahkan sampai 0 % pada bulan September 1999. Seiring dengan dibukanya swasta untuk mengimpor beras maka beras impor membanjiri pasaran beras domestik, dan memenuhi gudang gudang importir beras.

(4) Sejak tahun 2001, pemerintah menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Akibatnya penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah, sehingga petani tidak bisa menutupi melonjaknya biaya produksi. 

Kasus impor beras yang belum lama ini menjadi heboh politik adalah kelanjutan dari praktek-praktek kekuasaan yang karakternya menjadi kakitangan kaum imperialis. Studi JARNOPP dan OXFAM tahun 2001 dan Forum Petani Karawang (2002) menunjukkan bahwa pasca penerapan liberalisasi ekonomi tahun 1998 terjadi degradasi sektor pertanian, pangan dan kesejahteraan petani Indonesia yang tercermin dalam menurunnya produksi dan stok pangan petani,  melonjaknya harga beras, turunnya nilai tukar pertanian dan pendapatan petani, kerentanan pangan dan eliminasi peran perempuan dalam sektor pertanian.

Kebijakan liberalisasi perdagangan pangan juga berdampak pada pemborosan devisi dan ancaman terhadap kemandirian pangan dari rakyat Indonesia. Total impor komoditas pangan utama Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai, kacang tanah dan gandum pada tahun 2001 saja sudah mencapai angka Rp. 11,8 trilyun. Jika produk daging, susu, dan buah-buahan kita masukan angkanya jauh lebih besar. Dimana-mana hampir rak-rak dari pusat-pusat perdagangan di kota-kota dipenuhi dan dijejali produk-produk pangan impor.

Imperialis pertanian untuk merebut pasar pangan di Indonesia juga menyusupkan kepentingannya dalam bentuk “bantuan pangan”.  Bantuan pangan merupakan satu bentuk masuknya beras internasional ke Indonesia, dalam bentuk hibah maupun kredit. Indonesia merupakan penerima bantuan pangan terbesar dunia, yakni menerima 1.143.000 ton pada tahun 1998, 522.000 ton pada tahun 1999, dan 554.000 ton pada tahun 2000. Amerika Serikat, Jepang, dan Australia merupakan tiga penyumbang bantuan pangan terbesar Indonesia. Bentuk bantuan terbesar adalah gandum, diikuti terigu, dan beras.

Tekanan dan dampak dari kebijakan liberalisasi kebijakan industri pendukung dan penopang sektor pertanian, serta kebijakan liberalisasi perdagangan pangan mengakibatkan:

3.      Produktifitas pertanian yang rendah
Penurunan areal luas panen padi - Jika pada tahun 1999 luas areal panen 11.963 ribu hektar, maka tahun 2000 turun menjadi 11.793 ribu hektar dan tahun 2001 menjadi 11.415 ribu hektar. Penurunan ini sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya harga jual gabah dibanding biaya produksi yang meningkat, yang terjadi selama kurun waktu itu, juga oleh konversi lahan sawah menjadi penggunaan non pertanian karena rendahnya nilai tambah pertanian padi.

Krisis ekonomi dan liberalisasi perdagangan menyebabkan produksi beras menurun sebesar -3,9%, kemudian menurun lebih besar yakni –4,9% pada tahun 1998. Pada tahun 1999 dan 2000 produksi beras meningkat masing-masing 1,8% dan 3,9%, namun pada tahun 2001 menurun lagi sebesar –3,4%.

Liberalisasi perdagangan mempunyai konsekwensi besar bagi Indonesia, terutama terhadap sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, seperti pangan dan pertanian. Pertanian menyediakan makanan pokok bagi 210 juta penduduk Indonesia, dan menyerap 49,7 persen dari total angkatan kerja atau sekitar 44,62 juta angkatan kerja pada tahun 2002 (BPS, 2003). Dengan demikian pertanian memiliki dimensi yang sangat luas diantaranya ketahanan pangan, penyerapan lapangan kerja, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan

Menjadi jelas pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan, pihak yang berkepentingan dan pihak yang dirugikan kepentingannya, pihak yang menjadi musuh kaum tani dan pihak yang menjadi sekutu kaun tani dari kebijakan liberalisai sektor pertanian ini. Pihak yang diuntungkan adalah imperialis pertanian dan pangan dari utara (teruama AS, Kanada, Eropa, Australia), belakangan juga Cina, juga elit penguasa seperti Pemeirntahan SBY-Kalla dan kapitalis dalam negeri yang menjadi kroninya dan berperan sebagai pedagang perantara. Sedang pihak yang dirugikan adalah kaum tani dalam hal liberalisasi sektor pertanian, dan kaum buruh diperkotaan dan seluruh rakyat miskin dalam hal liberalisasi perdagangan secara umum yanga menjadi korban kebangkrutan industri dalam negeri. Era harga murah barang-barang hasil impor hanyalah sesaat saja, karena seiring dengan itu daya beli seluruh rakyat semakin merosot.

Menjadi jelas juga bahwa musuh pokok dari perjuangan kaum tani secara umum adalah kaum imperialis dan sistem imperialisme serta Pemerintahan SBY-Kalla yang bersedia menjadi kakitangan dari kepentingan kaum imperialis; dan sekutu perjuangan dari kaum tani adalah kaum buruh dan seluruh rakyat miskin yang menjadi korban dari politik dan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan kaum imperialis.


Ketidakadilan Dalam Sengketa Agraria

Selain itu kaum tani juga telah mengalami penindasan selama puluhan tahun, menjadi korban perampasan tanah. Perampasan tanah yang terjadi erat kaitannya dengan perkembangan kapitalisme Orde Baru yang hingga kini tak kunjung ada penyelesaian yang adil bagi kaum tani. Salah satau basis dari perkembangan kapitalisme Orde baru adalah melalui cara-cara perampasan tanah untuk kepentingan  keberlangsungan dan perluasan kapitalisme perkebunan, pembangunan pabrik-pabrik manufaktur (terutama tanah di pinggiran kota), proyek infrastruktur (jalan, bendungan/dam dsb), real estate, lapangan golf, dan pembukaan/perluasan areal pertambangan. Ini adalah model pertama dari terjadinya pengkonsentrasian tanah model Orde Baru.

Secara spesifik ada sejumlah populasi kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah akibat penyelewengan Orde Baru terhadap pelaksanaan UU Pokok Agraia 1960, terutama tanah-tanah perkebunan yang hak erpacht/HGUnya habis dan seharusnya menjadi obyek dari UUPA yaitu dibagi-bagikan kepada kaum tani, ternyata HGU-nya diperpanjang. Atau yang sudah dibagikan dirampas kembali, terutama paska Tragedi 65.

Dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga tahun 2001 terjadi tidak kurang dari 1.753 sengketa agraria. Terdapat 344 kasus konflik yang terjadi akibat pengembangan areal perkebunan besar, pembukaan kebun-kebun baru maupun penanaman kembali lahan-lahan yang selama ini tidak dipergunakan oleh perusahaan. Keseluruhan jumlah konflik di areal perkebunan meliputi 1.311.971 Ha lahan yang disengketakan dan menimpa tidak kurang 257.686 keluarga petani sebagai korban langsung dari konflik tersebut.
Tanah-tanah yang dirampas oleh kaum tani itu berubah menjadi industri-industri modern, menjadi perkebunan, areal pertambangan, pabrik, bendungan, jalan dsb. Jika perubahan itu menjadi lapangan golf menjadi lebih mudah, karena kaum tani tidak membutuhkan lapangan golf  maka dapat dirubah kembali menjadi lahan pertanian. Apakah yang demikian ini juga akan diterapkan jika itu sudah berupa pabrik, bendungan, areal pertambangan, jalan, bendungan?

Yang menjadi masalah adalah struktur kekuasaan selalu menindas perjuangan kaum tani yang menjadi korban dari ketidakadilan dalam kasus-kasus tanah yang terjadi. Bahkan kaum imperialis, kapitalis, juga perusahaan-perusahaan Negara yang memperalat dan menggunakan instritusi kekerasan Negara (TNI/Polri) dan para preman dalam menghadapi perjuangan kaum tani untuk merebut hak-haknya. Dalam kasus-kasus tanah yang terjadi keterlibatan TNI/Polri ini sangat menonjol.

Model kedua dari terjadinya konsentrasi tanah adalah melalui pembukaan hutan dan pemanfaatan tanah adat. Yang menikmatinya adalah sejumlah konglomerat kroni Suharto. Sampai tahun 1998, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih 48,3 juta ha hutan HPH/HPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit menguasai kurang lebih 72,6 ribu ha. Di antara perusahaan yang menguasai HPH/HPTI itu, tidak lebih dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta ha lahan hutan. Di samping itu, Perhutani (perusahaan milik negara) mengklaim menguasai tiga juta ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 ketahui terdapat 2,178 perusahaan yang menguasai perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha.


Pemerintahan SBY-JK Memusuhi Perjuangan Kaum Tani
Di dalam penyelesaian persoalan kurang berkembangnya dan keterbelakangan tenaga produktif pertanian dan juga dalam penyelesaian sengketa agraria kedudukan dari Pemerintahan SBY-Kalla adalah wakil kekuasaan yang berdiri dipihak-pihak yang memusuhi kepentingan kaum tani yaitu kaum imperialis dan kapitalis/imperialis yang menyerobot tanah-tanah yang menjadi hak kaum tani. Demikian juga kedudukan dari struktur dan elit penguasa yang menjadi bawahannya (militer, pengadilan, juga pemerintahan daerah)m juga institusi parlemen.

Kasus beras impor, gula impor, kenaikan harga BBM, TDL, kebangkrutan industri pupuk, mahalnya harga pupuk, tak adanya bantuan kredit murah untuk kaum tani, tak adanya bantuan teknologi yang murah dan tepat guna bagi kaum tani, peranan Bulog yang tidak mampu menjadi distributor pangan nasional yang menguntungkan kaum tani dan memangkas habis rente yang dinikmati kaum tengkulak adalah bukti dari sikap bermusuhan dari pemerintahjan SBY-JK terhadap kepentingan kaum tani. Pemerintahan SBY-JK justru dengan sikap melaksanakan pesanan kebijakan dari kaum imperialis untuk meliberalkan peraturan yang menyangkut pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya air, juga perkebunan melalui berbagai RUU.

Didalam penyelesaian kasus-kasus sengketa agrarian kita hamper tiak pernah mendengar penyelesaian yang menguntungkan kaum tani. Yang sering kita dengar justru Pemerintah SBY-JK menggunakan institusi dan aparat TNI/Polri untuk menindas perjuangan kaum tani.

Sistem demokrasi dan struktur kekuasaan
Situasi demokrasi telah berhasil direbut oleh rakyat sebagai hasil dari perjuangan mahasiswa dan rakyat dalam menumbangkan kediktatoran Orde Baru pada tahun 1998. Namun struktur kekuasaan dan produk kekuasaan tidak juga memberi manfaat dan menyelesaikan kepentingan yang menjadi tuntutan perjuangan dari kaum tani.

Keuntungan yang mampu diambil oleh kaum tani barulah  memaanfaatkan situasi yang relative kebebasan jika dibandingkan dengan periode kediktatoran dengan membangun, mengrganisasikan dan membangkikan perjuangan kaum dimana-mana. Skala perlawanan dan pertumbuhan organisasi kaum tani juga telah demikian luas.

Namun demikian perkembangan kaum tani ini masih menghadapi persoalan-persoalan:
  1. Secara ideologis isu keadilan dalam penyelesaian sengketa agrarian yang menjadi isu dominant dalam perjuangan kaum tani. Perjuangan melawan imperialis dan seluruh kepentingannya masih kurang menonjol. Walau gejala-gejalanya sudah mulai kelihatan misalnya pergolakan kaum tani yang memprotes kelangkaan dan mahalnya pupuk  pada akhir tahun 1999, perlawanan petani tebu menolak gula impor, dan protes terhadap impot beras yang cukup ramai belakangan ini. Dalam perjuangan demokratik potensi dan energi perjuangan yang besar dari kaum tani juga belum terolah dengan baik. Misalnya saja sepanjang pertengahan tahun 1998 hingga akhir tahun 1999 ribuan desa di Jawa bergolak, dimana-mana kaum tani menggulingkan pemeirntahan desa bahkan bupati yang korup.
  2. Secara politik gerakan kaum tani membiarkan ruang dan struktur kekuasaan diambil dan dipergunakan oleh kekuatan-kekuatan politik yang memusuhi kepentingan kaum tani untuk mempersulit kehidupan dan menindas perjuangan kaum tani. Gerakan kaum tani kurang menggunakan seluruh ruang, peluang, dan institusi demokratik sebagai hasil dari perjuangan melawan kediktatoran untuk kepentingan perjuangan kaum tani dan rakyat miskin secara umum. Misalnya dalam momentum Pemilu atau Pilkada. Sehingga isu dan kepentingan yang diperjuangkan oleh kaum tani tidak mewarnai dari setiap watak konflik yang muncul dari kekuasaan. Sehingga dalam kepentingan ini lapangan politik front persatuan untuk melawan imperialis dan menyelesaiakan problem agraria juga kurang dimanfaatkan dengan baik oleh gerakan kaum tani.
  3. Secara organisasi gerakan kaum tani telah mencapai perkembangan yang baik misalnya tumbuh suburnya berbagai organisasi petani baik yang berskala nasional, apalagi di lokal-lokal propinsi dan kota-kota. Tantangan organisasional dari gerakan kaum tani adalah bagaimana mengkonsolidasikan potensi-potensi ini sehingga mampu keluar dari keterbatasan isu yang menjadi karakter dari banyak organisasi petani misalnya hanya membatasi perjuangan pada isu-isu tertentu saja, juga keterbatasan karakter lokal dari organisasi dan tuntutan yang diperjuangan kaum tani. Persoalan ini juga menjadi persoalan umum yang dihadapi oleh gerakan rakyat di sektor-sektor lainnya.

Konsolidasi dari gerakan dan organisasi massa kaum tani penting untuk menjawab perssoalan-persoalan diatas. Karena pada hakekatnya perjuangan melawan imperiliasme adalah tugas nasional dari mayoritas rakyat Indonesia untuk dapat keluar dari krisis ekonomi dan keterbelakangan tenaga produktifnya. Penyelesaian sengketa agraria yang menjadi kepentingan kaum tani akan mengalami kesulitan ketika persoalan ini tidak menjadi persoalan dan karakter umum dari gerakan rakyat.

Tidak ada komentar: